BTemplates.com

Pages

Kamis, 26 Februari 2015

WAKAF JARINGAN INTERNET/WIFI UNTUK MA’HAD UTSMAN BIN AFFAN



Bismillahirrahmaanirrahiim

Alhamdulillah atas izin Allah ta’ala pada hari Selasa, bertepatan tanggal 24 Februari 2014 telah terpasang perangkat jaringan internet/Wifi untuk ma’had Utsman bin Affan atas wakaf dari salah seorang pengusaha ISP/Internet Service Profider (Semoga Allah subhanahu wata’ala memberkahi usahanya, dan membalasnya dengan sebaik-baik balasan serta menjadikan wakaf ini sebagai amal shalih yang terus mengalir di sisi Allah subhanahu wata’ala). Aamiin
Kami dari segenap pengurus Ma’had Utsman bin Affan mengucapkan jazahullahukhaira, dan semoga dengan keberadaan jaringan internet/Wifi di mahad kami akan memudahkan kami dalam penyebaran dakwah islam dan bermanfaat untuk berkembangnya dakwah salafiyyah ahlussunnah waljama’ah di wilayah Cilacap khususnya dan kaum muslimin secara umum di wilayah berbagai negara.

dan insya Allah ke depan kami akan membangun jaringan radio streaming untuk menyebarluaskan dakwah ahlussunnah dari Ponpes Utsman bin Affan, yang insya Allah bernama Radio Syiar Islam dan siaran ini dapat didengarkan juga di Frekuensi/gelombang FM di 107.5 FM.

Minggu, 22 Februari 2015

Sekali Lagi, Taklid Itu Haram?


Bismillahirrahmaanirrahhiim

(Guru kami, Syekh Robi' bin Hadi menukil ucapan/jawaban seorang Ulama Kibar di KSA yaitu guru kami, Syekh Solih Al Fawzan, hafizhahumullah)
Pertanyaan:
"Apakah boleh seorang penuntut ilmu taklid kepada seseorang atau mazhab tertentu?"
Syekh Robi’ bin Hadi Al Madkhali hafizhahullah menjawab,
"Dijawab pertanyaan ini oleh Syekh Solih Al Fawzan. Jazahullahu khoiron. Seorang penuntut ilmu di awal-awal belajarnya adalah taklid. Jika tidak bertaklid kepada Ahmad, Syafi’i, ia taklid kepada ustadznya. Bukankah dia memulai belajarnya dengan taklid kepada ustadznya? Dia mendapatkan suatu nash yang tidak ia pahami, maka ustadznya menjelaskan nash itu. Bukankah ini taklid kepadanya? Jadi, pada awalnya, seseorang itu taklid, baik kepada Abu Hanifah, Syaf’i, Ahmad, atau guru mata pelajarannya. Ia mulai dengan taklid.
Kemudian, ketika ia belajar dan mampu untuk mencari dalil serta mengambil pendapat-pendapat yang paling shahih dan paling rajih yang dikuatkan dari kitab Allah ta’ala dan sunnah Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak boleh baginya untuk meninggalkan pendapat yang benar karena seseorang, siapa pun orang itu. Itulah yang wajib. Dan jika orang tersebut sampai pada tingkatan mujtahid , maka ia harus mencari al haqq dan mengikuti dalil serta mencontoh para Sahabat Rasulullah, tabi’in , dan para imam-imam dalam Islam dalam mengambil dalil.
Karena itu, di Aljazair, setiap orang melakukan taklid. Orang-orang awam yang tidak tahu apa-apa, bagaimana mereka ber-ijtihad. Mereka tidak tahu apa-apa. Tidak tahu nashab dan manshub [1]. Tidak tahu perkara yang khusus dan yang umum. Tidak tahu mana yang mutlak dan mana yang muqayyad [2]. Bahkan tidak tahu apa yang ada di Al Quran dan As Sunnah. Tidak memahaminya. Yang seperti ini haruslah melakukan taklid.
Akan tetapi, apakah ia taklid dengan hawa nafsunya? Tidak. Ia bertanya kepada orang yang paling bertakwa, paling wara’ , dan paling berilmu. Maka, ia bertanya kepadanya. Jika ragu, ia tanyakan kepada ulama yang lain, sampai ia yakin bahwa apa yang difatwakannya sesuai dengan agama Allah yang haqq . Dan bagi seseorang yang awam hendaklah ia meminta dari ulama tersebut dalil. Jika ia memiliki sesuatu dari kecerdasan, ia bertanya.
Karena itu, taklid buta yang dipakai yang tidak kembali kepada kalam Allah dan RasulNya shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka, ini adalah tarbiyah yang buruk.
Dan kepada para ulama, hendaklah mereka mengajarkan manusia ketika dimintai fatwa oleh orang yang meminta fatwa. Masalahnya begini dan begitu, karena Allah ta’ala berkata begini dan Rasulullah bersabda begitu. Mereka mengajarkan manusia, mengembalikan manusia kepada kitab Allah ta’ala dan sunnah Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Inilah yang seharusnya."
Rujukan:
Majmu’ Kutub wa Rasa-il wa Fatawa Fadhilah Syekh Al ‘Allamah Robi’ bin Hadi ‘Umair Al Madkhali (15/36-37).
[1] Istilah dalam ilmu nahwu. [Penerj. ]
[2] Istilah dalam ilmu ushul fikih. [ Penerj. ]
http://dakwahislam.net/sekali-lagi-taklid-itu-haram/

Nasihat Emas dari Syekh Robi' bin Hadi al Madkholi




Penting dan harus dibaca!

Seorang penanya berkata,
“Semoga Allôh menjaga Anda, bagaimana cara kita beribadah kepada Allôh Azza wa Jalla dengan ilmu jarh wa ta’dîl yang merupakan ilmu paling mulia?"
Guru kami, Syekh Robi' bin Hadi -hafizhahullah- menjawab,
"Apabila kalian sudah mencapai tingkatan ilmu, waro' (kehati-hatian), zuhud dan ikhlas hanya mengharapkan wajah Allôh, niscaya kalian akan mengetahui bagaimana cara ber-taqorrub (beribadah mendekatkan diri) kepada Allôh dan melindungi agama ini dengan menggunakan ilmu tersebut (jarh wa ta’dîl).
Sesungguhnya ilmu jarh wa ta’dîl itu adalah ilmu yang agung, yang tidak boleh membahasnya kecuali hanya segelintir figur tertentu, bahkan mayoritas pembesar ulama hadits saja banyak yang tidak dianggap sebagai ulama jarh wa ta’dîl. Saya sampaikan kepada kalian, bahwa SAYA BUKANLAH TERMASUK ULAMA JARH WA TA’DÎL, DAN SAYA NASEHATKAN SAUDARA-SAUDARA SEKALIAN AGAR MENINGGALKAN SIKAP GHULÛW (BERLEBIH-LEBIHAN), semoga Allôh memberkahi kalian.
Saya hanyalah seorang “Nâqid” (kritikus), yang mengkritisi kesalahan-kesalahan sejumlah individu tertentu, namun orang-orang terlalu meninggi-ninggikannya, semoga Allôh memberkahi kalian.
Saya berlepas diri kepada Allôh dari sikap ghulûw! JANGANLAH KALIAN SEKALI-KALI MENGATAKAN SYEKH ROBÎ’ ITU IMAM JARH WA TA’DÎL! ALLÔH SEBAGAI SAKSI BAHWA SUNGGUH SAYA BENCI UCAPAN INI! TINGGALKAN SIKAP BERLEBIH-LEBIHAN INI WAHAI SAUDARA-SAUDARA SEKALIAN. SAYA DARI SEMENJAK DULU, TIDAK MENYUKAI HAL INI!
Sesungguhnya, diriku ketika melihat sebutan terhadap Imam Ibnu Khuzaimah sebagai imamnya para imam (imâmul a`immah), demi Allôh beliau (Ibnu Khuzaimah) adalah seorang imam yang mulia, namun sampai disebut imamnya para imam, demi Alloh saya memandangnya ini suatu hal yang berat. Julukan-julukan semisal ini telah merasuki kaum muslimin. Perhatikan sebutan mereka terhadap sahabat, (mereka mengatakan), ‘Umar berkata, ‘Utsmân berkata, ‘Alî berkata… [suara kurang jelas]..
semoga Allôh memberkahi kalian.
Tinggalkanlah kerancuan ini!!! [Maksud Syekh, para ulama disebut dengan sebutan yang berlebihan namun para sahabat seringkali hanya disebut namanya, pent.]
Orang yang berilmu dan faham akan manhaj salaf, cukup hanya mengkritik. Ulama jarh wa ta’dîl telah menjelaskan kepada kita keadaan para rijâl (rowi periwayat hadits) bahwa mereka kadzdzâb (pendusta), matrûk (ditinggalkan), buruk hafalannya, lemah riwayatnya, dll. Juga perawi yang tsiqât (kredibel), adil, kuat hafalannya, dll. Sedangkan kita hanyalah pengkritik saja. Saya (tidak lebih hanyalah) seorang pengkritik yang lemah. Saya mengkritisi kesalahan-kesalahan yang didiamkan oleh ulama selain diriku… [kalimat tidak jelas]…
Tinggalkanlah perbuatan ini, semoga Allôh memberkahi kalian. Yaitu, apabila ada orang yang berilmu dan faham akan manhaj salaf, lalu dia melihat di hadapannya ada suatu bid’ah yang nyata, maka hendaknya ia menjelaskannya dan mengoreksinya dengan ikhlas mengharap wajah Allôh, dalam rangka menjaga agama ini dari perkara yang disusupkan oleh ahli bid’ah, yang membuat kerancuan dengan perbuatan bid’ah mereka, berkata tentang Allôh tanpa ilmu, menyebarkan kesesatannya dengan mengatasnamakan agama, baik itu kesalahan aqidah, ibadah, manhaj, siyâsah (politik), ekonomi, dll…
Saat ini, telah merebak di kalangan salafiyîn sikap ghulûw dan berlebih-lebihan, sampai-sampai sebagian mereka, sikap ghulûwnya mencapai tingkatan seperti sekte Râfidhah, shûfiyah dan hulûl (inkarnasi).
KAMI BERLEPAS DIRI DARI SIKAP GHULÛW SEPERTI INI! HENDAKNYA KALIAN MENAPAKI MANHAJ SALAF INI DI ATAS SIKAP WASATHIYAH (PERTENGAHAN) DAN I’TIDÂL! POSISIKAN MANUSIA SEBAGAIMANA KEDUDUKANNYA TANPA SEDIKITPUN DIIMBANGI SIKAP GHULÛW, SEMOGA ALLÔH MEMBERKAHI KALIAN!.
Kita sekarang berada di kalangan para penuntut ilmu. Para
penuntut ilmu, kami kritik sebagian kesalahan mereka… [suara kurang jelas]… yang kami mengenalnya. Maka saya
nasehatkan kepada kalian wahai saudara-saudaraku
sekalian, agar kalian berjalan di atas thorîq (jalan) as-Salaf
ash-Shâlih di dalam belajar, akhlak dan dakwah, tanpa
bersikap tasyaddud (keras) atapun ghulûw.
DAKWAH YANG DIIRINGI DENGAN SIKAP SANTUN, LEMAH LEMBUT DAN AKHLAK YANG MULIA, MAKA DEMI ALLÔH, DAKWAH SALAFIYAH INI AKAN SEMAKIN TERSEBAR!
Dakwah salafiyah sekarang ini saling memakan (baca: saling memangsa, pent.) dan yang memakannya adalah “muntamûn”/afiliatornya (orang-orang yang berintimâ` kepada salafiyah, pent.). Saya tidak menyebutkan “as-Salafiyûn”, tapi “al-muntamûn”, yang sebagian mereka ini,
mengafiliasikan diri mereka secara zhalim kepada manhaj
ini dan saling memakan di hadapan manusia. Akhirnya mereka semakin memperburuk citra dakwah salafiyah. Saya
nasehatkan mereka untuk bertakwa kepada Allôh Azza wa
Jalla, belajar ilmu yang bermanfaat dan beramal shalih,
serta berdakwah mengajak manusia dengan ilmu dan hikmah.
Wahai saudara-saudaraku, saat ini situs-situs internet mulai bertebaran. Hampir setiap orang mengejek orang-orang yang mereka sebut sebagai salafîyîn. Mereka tertawa
dan bertepuk tangan dengan gembira (karena banyaknya
situs-situs salafî yang saling mencakar satu dengan lainnya, pent). Semoga Allôh memberkahi kalian.
Internet bisa menjadi sarana belajar, hendaknya ilmu tafsîr didahulukan (untuk diajarkan) kepada umat, dengan makalah-makalah yang menjelaskan tafsir ayat-ayat yang berkaitan dengan hukum, akhlaq dan aqidah, dan menyebarkan dakwah ini kepada manusia. Lalu mempermantap di dalam ilmu hadits dengan cara menyebarkan makalah-makalah yang menjelaskan makna dan kandungan hadits berupa hukum-hukumnya, halal haram, akhlak dan selainnya. Kalian penuhi dunia ini dengan ilmu, manakala manusia sangat butuh dengan ilmu ini. Semoga Allôh memberkahi kalian.
Adapun pertikaian (yang disebarkan di internet), maka ini
akan memperburuk citra manhaj salafi dan menyebabkan
orang lari menjauh.
TINGGALKANLAH PERTIKAIAN, BAIK ITU DI INTERNET ATAUPUN MEDIA LAINNYA SEPERTI MAJALAH, DAN DI NEGARA MANA SAJA! DAHULUKAN ILMU YANG BERMANFAAT, dan diskusi. Janganlah kalian memasuki perdebatan (jidâl) dengan orang lain ataupun dengan sesama kalian. Kalian telah membaca di dalam buku ini (yang dikaji syekh Robî’, pent.) bahwa dahulu para salaf menjauh dari perdebatan. Janganlah kalian berdebat kecuali dalam kondisi terdesak. Dan hendaknya yang berdebat itu hanyalah orang yang berilmu yang mampu
mematahkan argumentasi ahli bid’ah.
JANGAN KALIAN MASUK KE DALAM PERMUSUHAN DI ANTARA SESAMA KALIAN. APABILA TERDAPAT SESUATU KESALAHAN, HENDAKNYA KEMBALIKAN KEPADA PARA
ULAMA. JANGAN PULA KALIAN MENCEBURKAN DIRI KE DALAM DESAS-DESUS DAN BERITA-BERITA DUSTA,
KARENA HAL INI TELAH MENYIA-NYIAKAN DAKWAH
SALAFIYAH DAN BERIMPLIKASI SANGAT BURUK SEKALI,
yang sejarah menjadi saksinya. Sarana-sarana kejelekan ini
semakin disokong di internet dan problematika ini semakin
didukung oleh setiap yang terbesit di kepalanya lalu meletakkan bencana (pemikiran)-nya di internet. Tinggalkan perbuatan ini! BERKATALAH DENGAN ILMU NISCAYA AKAN MEMULIAKAN KALIAN DAN DAKWAH KALIAN. Adapun orang-orang yang tidak berilmu, hendaknya jangan menulis baik di internet ataupun selainnnya, semoga Allôh memberkahi kalian.
JAUHILAH SIFAT DENGKI DAN DENDAM, KARENA APABILA TIDAK MAKA ALLÔH AKAN MEMATIKAN DAKWAH INI. SAYA BERHARAP AGAR TIDAK ADA SATUPUN DARI KALIAN YANG IKUT SERTA DI DALAM BENCANA INI.
Saya memohon kepada Allôh agar meneguhkan kita semua di atas sunnah. Wahai saudara-saudara sekalian, hendaknya kalian mendengar dari orang yang berilmu (para ulama) dan hukum-hukumnya, dan menulis di internet yang bermanfaat bagi orang lain baik di dalam tafsîr… [kalimat tidak jelas]… yang menghimpun aqidah, akhlaq, hukum dan selainnnya, semoga Allôh memberkahi kalian. Dan ilmu tafsîr itu adalah samudera… Demi Allôh…
Seluruh hadits yang ada pada kalian, kalian syarah (terangkan maknanya) dan perkuat dengan syarah para
ulama yang mumpuni, lalu sampaikan pada umat baik itu di
dalam bidang aqidah, ibadah, atau akhlak, dengan cara yang bijak dan santun, yang berfaidah bagi orang lain. Demi
Allôh, kalian mengobati bagaimana cara mengembangkan,
menumbuhkan dan menerangi dunia… adapun sekarang,
kalian menzhalimi salafiyah dengan cara-cara ini, semoga
Allôh memberkahi kalian.
Saya menasehatkan kalian agar meninggalkan jidâl dan
permusuhan di internet ataupun di media lainnya. Saya
nasehatkan pula bagi yang memiliki ilmu agar berbicara
dengan ilmu, menulis dengan ilmu, berdakwah dengan ilmu,
hujjah dan burhân (penjelasan yang gamblang). Jauhilah
perselisihan dan sebab-sebab perpecahan agar tidak
memperburuk keadaan kalian. Apabila ada salah seorang
yang melakukan kesalahan, maka ajukan kepada para
ulama.. [suara tidak jelas]… agar dapat dijelaskan
bagaimana mengobatinya, semoga Allôh memberkahi kalian, meluruskan langkah-langkah kalian dan mempertautkan hati-hati kalian.
Bârokallôhu fîkum."
[selesai ucapan guru kami, Syekh Robî’ bin Hâdî al Madkhalî, semoga Allôh memperpanjang usia beliau di dalam ketaatan, dan menjauhkan beliau dari orang-orang ghulûw yang senantiasa memberikan informasi secara sepihak kepada beliau.]
Sumber :
http://news-screenshoot.blogspot.com/…/syaikh-rabi-saya-ben…

Kamis, 19 Februari 2015

SALAFY SUNNI : DALAM PANDANGAN MUI INDONESIA


Alhamdulillah, Shalawat serta salam kepada Rasulillah,,

Akhir-akhir ini bermunculan suara-suara sumbang tentang Salaf/Salafi. Bagaimana pandangan MUI Jakarta Utara tentang istilah ini, silahkan baca di bawah ini :



Pandangan MUI Jakarta Utara

Tentang Salaf / Salafi


Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Administrasi Jakarta Utara mengeluarkan keputusan tentang Salaf/ Salafi. Keputusan itu dikeluarkan secara resmi dan ditandatangani oleh Ketua Umum QOIMUDDIEN THAMSY dan Sekretaris Umum Drs. ARIF MUZAKKIR MANNAN, HI. Keputusan dengan judul Pandangan Majelis Ulama Indonesia Kota Administrasi Jakarta Utara Tentang SALAF/SALAFI itu dikeluarkan di Jakarta, 12 Rabi’ul Akhir 1430 Hl 08 April 2009.


Salinan teks selengkapnya sebagai berikut:



Salinan


MAJELIS ULAMA INDONESIA

Kotamadya Jakarta Utara

Jl. Yos Sudarso No. 27-29 Telp. (021) 4357422, 4301124 Ext. 5375,

Fax. 4357422 Jakarta

—————————————————————————————————–


Pandangan Majelis Ulama Indonesia

Kota Administrasi Jakarta Utara

Tentang

SALAF/SALAFI

Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Administrasi Jakarta Utara,

MENIMBANG : a. bahwa pada akhir-akhir ini berkembang kajian-kajian salaf di beberapa daerah yang banyak masyarakat belum memahami makna salaf itu;

b. bahwa terjadi kesalah pahaman dalam memahami salaf;

c. bahwa muncul vonis sesat kepada keberadaan kajian-kajian salaf;

d. bahwa oleh karena itu, MUI Kota Administrasi Jakarta Utara perlu memberikan penjelasan tentang salaf/salafi, agar masyarakat tidak mudah terprovokasi.


MENGINGAT :

Firman Allah subhanahu wa ta’ala :

“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang Fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu”. (QS. Al-Hujuraat : 6)

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata”. (QS. Al-Ahzaab [33] : 36)

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian, yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. (QS. An-Nisaa [4] : 59)

“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah)”. (QS. Al-An’am [6] : 116)

“Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada mereka kebanggaan (Al Quran) mereka tetapi mereka berpaling dari kebanggaan itu”. (QS. Al-Mu’minuun [23] : 71)

“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah, dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya, mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar”. (QS. At-Taubah [9] : 100)

Hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ « كُلُّ أُمَّتِى يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ ، إِلاَّ مَنْ أَبَى » . قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَنْ يَأْبَى قَالَ « مَنْ أَطَاعَنِى دَخَلَ الْجَنَّةَ ، وَمَنْ عَصَانِى فَقَدْ أَبَى »

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Seluruh ummatku masuk surga kecuali yang enggan.” Para sahabat bertanya: wahai Rasulullah siapakah yang enggan?. Beliau menjawab: “Siapa yang ta’at kepadaku masuk surga dan yang ma’shiyat kepadaku maka ia enggan (masuk surga).” (H.R. Al-Bukhari)

عن أبي هريرة رضي الله عنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : ( تركت فيكم شيئين لن تضلوا بعدهم ( ما تمسكتم بهما ) كتاب الله وسنتي ولن يتفرقا حتى يردا على الحوض ) . أخرجه مالك مرسلا والحاكم مسندا وصححه

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Aku tinggalkan pada kalian dua hal kalian tidak akan tersesat selama kalian berpegang dengan keduanya, (yaitu) Kitabullah (Al-Qur’an) dan Sunnahku. Keduanya tidak akan berpisah sehingga masuk ke telaga (Al-Kautsar). (H.R. Malik secara mursal dan Al-Hakim dengan sanad yang bersambung dan ia mensahihkannya)

حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ مِينَاءَ حَدَّثَنَا أَوْ سَمِعْتُ جَابِرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ يَقُولُ جَاءَتْ مَلاَئِكَةٌ إِلَى النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - وَهْوَ نَائِمٌ فَقَالَ بَعْضُهُمْ إِنَّهُ نَائِمٌ . وَقَالَ بَعْضُهُمْ إِنَّ الْعَيْنَ نَائِمَةٌ وَالْقَلْبَ يَقْظَانُ . فَقَالُوا إِنَّ لِصَاحِبِكُمْ هَذَا مَثَلاً فَاضْرِبُوا لَهُ مَثَلاً . فَقَالَ بَعْضُهُمْ إِنَّهُ نَائِمٌ . وَقَالَ بَعْضُهُمْ إِنَّ الْعَيْنَ نَائِمَةٌ وَالْقَلْبَ يَقْظَانُ . فَقَالُوا مَثَلُهُ كَمَثَلِ رَجُلٍ بَنَى دَارًا ، وَجَعَلَ فِيهَا مَأْدُبَةً وَبَعَثَ دَاعِيًا ، فَمَنْ أَجَابَ الدَّاعِىَ دَخَلَ الدَّارَ وَأَكَلَ مِنَ الْمَأْدُبَةِ ، وَمَنْ لَمْ يُجِبِ الدَّاعِىَ لَمْ يَدْخُلِ الدَّارَ وَلَمْ يَأْكُلْ مِنَ الْمَأْدُبَةِ . فَقَالُوا أَوِّلُوهَا لَهُ يَفْقَهْهَا فَقَالَ بَعْضُهُمْ إِنَّهُ نَائِمٌ . وَقَالَ بَعْضُهُمْ إِنَّ الْعَيْنَ نَائِمَةٌ وَالْقَلْبَ يَقْظَانُ . فَقَالُوا فَالدَّارُ الْجَنَّةُ ، وَالدَّاعِى مُحَمَّدٌ - صلى الله عليه وسلم - فَمَنْ أَطَاعَ مُحَمَّدًا - صلى الله عليه وسلم - فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ ، وَمَنْ عَصَى مُحَمَّدًا - صلى الله عليه وسلم - فَقَدْ عَصَى اللَّهَ ، وَمُحَمَّدٌ - صلى الله عليه وسلم - فَرْقٌ بَيْنَ النَّاسِ .

Sahabat Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu, berkata: (suatu ketika) datang para malaikat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala beliau tidur. Sebagian mereka berkata ia sedang tidur, sebagian lain menjawab, matanya tertidur tetapi hatinya terjaga. Mereka berkata: sesungguhnya teman kalian ini (Nabi Muhammad-penj) memiliki perumpamaan, maka jadikanlah untuknya perumpamaan. Sebagian mereka berkata ia sedang tidur, sebagian lain menjawab, matanya tertidur tetapi hatinya terjaga. Mereka berkata, perumpamaannya seperti orang yang membangun rumah, menyediakan hidangan dan mengundang orang untuk datang. Siapa orang yang menjawab undangan, maka ia akan masuk rumah dan menyantap hidangan. Yang tidak menjawab undangan maka tidak masuk ke dalam rumah dan tidak menyantap hidangan. Mereka berkata, jelaskan ma’na perumpamaan itu kepadanya agar ia memahaminya. Sebagian mereka berkata ia sedang tidur, sebagian lain menjawab, matanya tertidur tetapi hatinya terjaga. Mereka berkata rumah adalah (perumpamaan) surga, orang yang mengundang adalah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka siapa orang yang ta’at kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ia ta’at kepada Allah. Siapa orang yang menentang Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ia telah menentang Allah. Muhammad adalah pembela diantara manusia (antara yang ta’at dan yang menentang). (H.R. Al-Bukhari)

MEMPERHATIKAN :

Keterangan dan penjelasan dari beberapa da’i salafi yang telah dikonfirmasi oleh pihak MUI Kota Administrasi Jakarta Utara.

Dengan bertawakkal kepada Allah subhanahu wa ta’ala,

MEMUTUSKAN

MENETAPKAN : PANDANGAN MUI KOTA ADMINISTRASI JAKARTA UTARA TENTANG SALAFI

Pertama : Penjelasan tentang apa itu SALAF/SALAFI

1. Salaf/salafi tidak termasuk ke dalam 10 kriteria sesat yang telah ditetapkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI), sehingga Salaf/salafi bukanlah merupakan sekte atau aliran sesat sebagaimana yang berkembang belakangan ini.

2. Salaf/salafi adalah nama yang diambilkan dari kata salaf yang secara bahasa berarti orang-orang terdahulu, dalam istilah adalah orang-orang terdahulu yang mendahului kaum muslimin dalam Iman, Islam dst. mereka adalah para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka.

3. Penamaan salafi ini bukanlah penamaan yang baru saja muncul, namun telah sejak dahulu ada.

4. Dakwah salaf adalah ajakan untuk memurnikan agama Islam dengan kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan menggunakan pemahaman para sahabat radhiyallahu ‘anhum.


Kedua : Nasehat dan Tausiyah kepada masyarakat

1. Hendaknya masyarakat tidak mudah melontarkan kata sesat kepada suatu dakwah tanpa diklarifikasi terlebih dahulu.

2. Hendaknya masyarakat tidak terprovokasi dengan pernyataan-pernyataan yang tidak bertanggung jawab.

3. Kepada para da’i, ustadz, tokoh agama serta tokoh masyarakat hendaknya dapat menenangkan serta memberikan penjelasan yang obyektif tentang masalah ini kepada masyarakat.

4. Hendaknya masyarakat tidak bertindak anarkis dan main hakim sendiri, sebagaimana terjadi di beberapa daerah di Indonesia.


Ditetapkan di : Jakarta

Pada tanggal : 12 Rabi’ul Akhir 1430 H.

08 April 2009

DEWAN PIMPINAN

MAJELIS ULAMA INDONESIA

KOTA ADMINISTRASI JAKARTA UTARA






Ketua Umum,
Sekretaris Umum,
Ttd

QOIMUDDIEN THAMSY


Lihat Teks Aslinya Di Link Ini:
http://www.scribd.com/doc/14433174/Fatwa-MUI-JakUt-Ttg-Salafi
cap
ttd


Drs. ARIF MUZAKKIR MANNAN, HI

Rabu, 18 Februari 2015

ILMU FILSAFAT : JALAN KESESATAN

 

Ilmu Filsafat : Jalan Kesesatan

(ditulis oleh: Al-Ustadz Qomar Suaidi, Lc.)
Jalan-jalan kesesatan jumlahnya sangat banyak dan bentuknya pun bermacam-macam. Demikian banyaknya sampai masyarakat sulit membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Salah satunya adalah ilmu filsafat.
Pada pembahasan sebelumnya telah disebutkan beberapa point yang menunjukkan keharusan berhati hati dalam mengambil ilmu sebagaimana tersebut dalam ayat:
“Adapun yang dalam hatinya terdapat penyelewengan (dari kebenaran) maka mereka mengikuti apa yang belum jelas dari ayat-ayat itu, (mereka) inginkan dengannya fitnah dan ingin mentakwilkannya. Padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah.” (Ali ‘Imran: 7)
‘Aisyah x mengatakan: Ketika Nabi r membaca ayat ini, beliau bersabda: “Jika kalian melihat orang-orang yang mengikuti ayat-ayat mutasyabihat (yang tidak jelas maksudnya) maka merekalah yang disebut oleh Allah I, maka hati-hatilah.” (Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Jelaslah, bahwa akan ada dari umat ini orang-orang mengikuti ayat-ayat yang mutasyabihat saja dengan tujuan agar mereka bisa menyelewengkan semau mereka, dan mereka sebarkan di kalangan umat untuk menyesatkan mereka dari jalan yang lurus, baik mereka sadari ataupun tidak. Padahal semestinya ayat-ayat yang semacam itu kita fahami maknanya sesuai dengan ayat yang muhkamat (yang sudah jelas maknanya) sehingga tidak terkesan ada pertentangan antara ayat Al Qur`an.
Inilah cara yang benar dalam memahami ayat. Dalam hadits, ketika Nabi r menyebutkan adanya kebaikan lalu adanya kaum yang menjalani selain Sunnah Nabi dan mengambil selain petunjuknya, ditanya oleh Hudzaifah z katanya: “Apakah setelah kebaikan ini ada kejelekan lagi?” Beliau menjawab:
“Ya, para da’i yang berada di pintu-pintu jahannam. Barangsiapa menyambut mereka, akan dilemparkan ke dalamnya.”
Hudzaifah berkata: “Wahai Rasulullah, berikan sifatnya kepada kami.” Jawabnya: “Ya, sebuah kaum dari kulit kita dan berbicara dengan bahasa kita…” (Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Demikian Nabi r memberitakan akan adanya para da’i yang mengajak ke neraka jahannam, sehingga dalam hadits lainpun beliau mengatakan:
“Sesunggguhnya yang aku takutkan atas umatku adalah para pemimpin yang menyesatkan.” (Shahih, HR. At-Tirmidzi dan yang lain dari Tsauban z dishahihkan As-Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah no. 1582)
Hadits-hadits tersebut menunjukkan perhatian Nabi r kepada kita di mana beliau sangat mengkhawatirkan kesesatan umatnya dengan sebab mengikuti para da’i yang membawa pemikiran atau ajaran yang tidak sesuai dengan ajaran Nabi r. Karena inilah penyebab hancurnya agama.
Abdullah bin Al-Mubarak mengatakan: “Tidak merusak agama ini kecuali raja-raja, ulama yang jelek dan ahli ibadah yang jelek.” (Syarh Al-’Aqidah Ath-Thahawiyah hal. 204)
Oleh karenanya, perlu dijelaskan jenis-jenis manusia yang harus diwaspadai ketika kita mengambil ilmu sebagaimana disebutkan para ulama. Di antara mereka adalah:
q    Ashabur Ra`yi, yaitu orang-orang yang memahami agama dengan rasio mereka. Termasuk di sini adalah orang-orang yang menafsirkan ayat atau hadits dari akal mereka sendiri tanpa merujuk kepada tafsir para ulama. ‘Umar bin Al-Khaththab z mengatakan: “Jauhi oleh kalian Ashabur Ra‘yi, mereka adalah para musuh As-Sunnah. Hadits-hadits Nabi tidak mampu mereka hafalkan, akhirnya mereka mengatakan dengan akal sehingga sesat dan menyesatkan.” (Al-Intishar Li Ahlil Hadits no. 21)
q    Al-Ashaghir, yaitu orang-orang kecil. Nabi r bersabda:
“Di antara tanda hari kiamat ada tiga, salah satuya adalah dituntutnya ilmu dari Al-Ashaghir.” (Shahih atau hasan, HR. Ibnu Abdil Bar dalam Jami’ Bayanil ‘Ilm hal. 612 tahqiq Abul Asybal dan dihasankannya, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Salim Al-Hilali dalam Bashair Dzawisy Syaraf hal. 41)
Abdullah bin Mas’ud z mengatakan, jika ilmu datang dari Al-Ashaghir maka mereka akan binasa (Jami’ Bayanil ‘Ilm hal. 616). Abdullah bin Al-Mubarak ditanya tentang makna Al-Ashaghir, katanya, yaitu orang yang berpendapat (dalam masalah agama) dengan pendapat mereka sendiri… yakni ahlul bid’ah (Jami’ Bayanil ‘Ilm hal. 612). Karena memang ahlul bid’ah kecil dalam hal ilmu.
Sebagian ulama yang lain mengatakan yang dimaksud adalah yang tidak punya ilmu (Jami’ Bayanil ‘Ilm hal. 617). Yang lain lagi mengatakan: “Bisa jadi yang dimaksud adalah orang yang tidak terhormat, dan hal itu tidak terjadi kecuali karena ia membuang agama dan kehormatannya. Adapun yang selalu menjaga keduanya pasti dia akan terhormat.” (Al-I’tisham, 2/682)
q    Ahlul Bid’ah, seseorang bisa dikatakan sebagai ahlul bid’ah jika ia menyelisihi hal-hal yang telah disepakati oleh Ahlussunah wal Jamaah (Al-Farqu Bainal Firaq hal. 14-15). Ibnu Taimiyyah menjelaskan, bid’ah yang dengannya seseorang bisa dianggap sebagai ahlul ahwa` (ahlul bid’ah) adalah sebuah bid’ah yang telah masyhur di kalangan ahlul ilmi dan Ahlussunnah bahwa hal itu menyelisihi Al-Kitab dan As-Sunnah seperti bid’ah Khawarij, Syi’ah, Qadariyyah dan Murji‘ah (Majmu’ Fatawa, 35/414 dari Mauqif Ahlissunnah, 1/119). Maka jika kita ketahui bahwa seseorang memiliki sebuah paham atau keyakinan yang masyhur dan jelas menyelisihi Al-Kitab dan As-Sunnah menurut pandangan ulama Ahlussunnah atau menyelisihi sesuatu yang telah disepakati oleh Ahlussunnah, maka ia tergolong ahlul bid’ah.
Contoh yang paling jelas dalam hal ini seperti pribadi/ kelompok yang memiliki pemahaman mengkafirkan mayoritas kaum muslimin, menolak hadits-hadits ahad (bukan mutawatir) dalam hal akidah, mencela sebagian shahabat Nabi r, meremehkan masalah tauhid, menolak sifat-sifat Allah I, mengatakan Al Qur‘an bukan Kalamullah, dan menafikan takdir.
Seseorang yang mencari ilmu agama harus hati-hati dari orang yang semacam ini. Allah I  berfirman:
“Dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan yang lain.” (Al-An’am: 153)
Seorang tabi’in bernama Mujahid menafsirkan ayat ini, katanya: “(Yang dimaksud adalah) bid’ah dan syubhat-syubhat.” (Al-Bid’ah, Dhowabituha … hal. 12)
Al-Imam Malik mengatakan: “Ilmu tidak boleh diambil dari empat orang –di antaranya– : seorang ahli bid’ah yang mengajak kepada bid’ahnya” (Jami’ Bayanil ‘Ilm hal. 821). Dan banyak lagi dalil atau ucapan salaf di dalam hal ini.
q Ahli filsafat. Yang dimaksud di sini adalah orang-orang yang berusaha memahami perkara-perkara agama melalui teori-teori filsafat yang berasal dari Yunani yang mereka namakan dengan ‘Ushuluddin’.
Masalah penimbangan amal di akhirat kelak, misalnya. Menurut mereka –dengan teori filsafat–, amal bukanlah dzat yang berujud sehingga tidak bisa ditimbang. Walhasil dengan pemahaman ini, mereka mengingkari nash-nash tentang timbangan amal. Padahal menurut pemahaman yang benar, kita wajib meyakininya karena Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Memahami agama melalui teori atau kaidah filsafat jika kebetulan sesuai dengan kebenaran maka tidak akan menyampaikan kepada kemantapan dalam berakidah, karena akan selalu tergoyahkan dengan teori lainnya yang menurut orang lain atau menurut dia sendiri di waktu lain lebih kuat.
Sampai-sampai salah seorang dari mereka mengatakan: “Aku berbaring di atas tempat tidurku dan aku tutupkan selimut di atas wajahku lalu aku adu antara dalil-dalil mereka (ahli filsafat), sampai terbit fajar dan aku tidak mendapatkan mana yang lebih kuat.” (Syarah Al-’Aqidah Ath-Thahawiyah hal. 209)
Oleh karenanya para ulama Ahlussunnah dari dulu sampai sekarang sangat keras melarang ‘ilmu’ ini dan mewaspadai orang-orangnya. Sampai-sampai, hampir tidak satu kitab pun dari kitab-kitab Ahlussunnah yang membahas akidah kecuali mencela filsafat. Bahkan tidak sedikit mereka yang menulis buku secara khusus mengingatkan umat tentang bahayanya filsafat.
Abu Yusuf, murid Abu Hanifah mengatakan: “Barangsiapa yang mencari ilmu agama dengan ‘ilmu’ kalam (filsafat), ia akan menjadi zindiq (orang yang menyembunyikan kekafiran).” (Syarh Al-’Aqidah Ath-Thahawiyah hal. 209). Adz-Dzahabi mengatakan: “Barangsiapa ingin menggabungkan antara ilmu para Nabi r dan ‘ilmu’ para filosof dengan kepandaiannya, maka ia pasti menyelisihi mereka semua.” (Mizanul I’tidal, 3/144 dari Al-Intishar, hal. 97)
Oleh karenanya para tokoh filsafat dari muslimin menyesali tenggelamnya mereka ke dalam ‘ilmu’ filsafat seperti Al-Ghazali, Ar-Razi, Asy-Syihristani, Al-Juwaini dan yang lain. Sebetulnya penyesalan mereka itu cukup sebagai pelajaran bagi yang menginginkan keselamatan akidahnya, dan –demi Allah I– cukup baginya merenungi dan mentadabburi firman Allah I:
“Apakah tidak cukup bagi mereka bahwasanya kami telah menurunkan kepadamu Al-Qur`an yang dibacakan kepada mereka, sesungguhnya di dalamnya terdapat rahmat yang besar dan pelajaran bagi orang-orang yang beriman.” (Al-’Ankabut: 51)
“Katakanlah wahai Nabi: ‘Sesungguhnya aku hanya memperingatkan kalian dengan wahyu’.” (Al-Anbiya: 45)
Jalan para rasul adalah wahyu, bukan filsafat.
q    Orang-orang yang memiliki sifat-sifat berikut: tidak ikhlas dalam berilmu tapi mengharapkan harta duniawi, kedudukan atau jabatan dengan ilmunya, yang mencampur antara kebenaran dan kebatilan, dan yang tidak mengamalkan ilmunya. Karena ini adalah sifat-sifat ulama Yahudi sehingga jika ada ulama muslim yang semacam itu berarti ia menyerupai Yahudi dan termasuk ulama yang jelek (Syarh Ushulus Sittah, Al-Ubailan hal. 16). Ibnu Qudamah berkata: “Ulama yang jelek adalah yang punya maksud dengan ilmunya untuk bernikmat-nikmat dengan dunia dan mencapai kedudukan di sisi ahli dunia.” (Mukhtashar Minhajil Qashidin hal. 35)
q    Para pengikut aliran tarekat sufi yang meyakini bahwa Allah I tidak di atas langit tapi di mana-mana, atau bersatu dengan para wali. Mereka memiliki amalan-amalan dzikir yang tata caranya mereka buat sendiri dan bukan berasal dari ajaran Nabi r. Ini sesungguhnya termasuk ahlul bid’ah.
q    Orang-orang yang mengaku muslim tapi terpengaruh paham-paham sosialis, sekularis, materialis atau sejenisnya. Atau orang-orang kafir orientalis misalnya.
Semua itu mesti kita hindari, dan hal ini sebetulnya jelas. Namun kita sebutkan karena adanya sebagian muslimin yang lengah dalam masalah ini atau menyepelekannya sehingga belajar ilmu agama Islam dari mereka. Bahkan yang sangat disayangkan ada pula yang berbangga dengan guru-guru yang semacam itu. Padahal dalam pepatah Arab disebutkan  “orang yang tidak punya tidak bisa memberi.”
Akibat buruk yang nyata dari perbuatan ini adalah munculnya orang-orang yang phobi terhadap Islam seperti gerakan JIL (Jaringan Islam Liberal) misalnya. Mereka sesungguhnya tidak menyebarkan Islam tapi justru meruntuhkan Islam dan membikin keraguan terhadap agama Islam dan ajaran-ajarannya.
Semoga Allah I memusnahkan atau mempersedikit orang-orang semacam ini, dan sebaliknya memperbanyak ahlul haq dan melindungi kaum muslimin dari fitnah-fitnah yang menyesatkan.
Wallahu a’lam.
http://asysyariah.com/mewaspadai-penyeru-kebinasaan/

Selasa, 17 Februari 2015

SAYA MUSLIM, TIDAK MERAYAKAN VALENTINE'S DAY....



4 Februari, adalah tanggal yang telah lekat dengan kehidupan muda-mudi kita. Hari yang lazim disebut Valentine Day ini, konon adalah momen berbagi, mencurahkan segenap kasih sayang kepada “pasangan”-nya masing-masing dengan memberi hadiah berupa coklat, permen, mawar, dan lainnya. Seakan tak terkecuali, remaja Islam pun turut larut dalam ritus tahunan ini, meski tak pernah tahu bagaimana akar sejarah perayaan ini bermula.

Sesungguhnya Allah l telah memilih Islam sebagai agama bagi kita, sebagaimana firman-Nya:
“Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam.” (Ali ‘Imran: 19)
Allah l juga menyatakan bahwa Dia tidak menerima dari seorang pun agama selain Islam. Allah l berfirman:
“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) darinya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (Ali ‘Imran: 85)
Nabi n juga bersabda:
وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ، لاَ يَسْمَعُ بِي يَهُودِيٌّ وَلاَ نَصْرَانِيٌّ ثُمَّ يَمُوتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ إِلَّا كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ
“Demi Dzat yang jiwa Muhammad di tangan-Nya, tidak ada seorangpun yang mendengar tentang aku, baik dia Yahudi atau Nasrani, lalu dia mati dalam keadaan tidak beriman dengan risalah yang aku diutus dengannya, kecuali dia termasuk penghuni neraka.”
Semua agama yang ada di masa ini –selain Islam– adalah agama yang batil. Tidak bisa menjadi (jalan) pendekatan kepada Allah l. Bahkan bagi seorang hamba, agama-agama itu tidaklah menambah kecuali kejauhan dari-Nya, sesuai dengan kesesatan yang ada padanya.
Telah lama, tersebar suatu fenomena –yang menyedihkan– di kalangan banyak pemuda-pemudi Islam. Fenomena ini merupakan bentuk nyata sikap taqlid (membebek) terhadap kaum Nasrani, yaitu Hari Kasih Sayang (Valentine Day). Berikut ini secara ringkas akan dipaparkan asal-muasal perayaan tersebut, perkembangannya, tujuan serta bagaimana seharusnya seorang muslim menyikapinya.

Asal Muasal
Perayaan ini termasuk salah satu hari raya bangsa Romawi paganis (penyembah berhala), di mana penyembahan berhala adalah agama mereka semenjak lebih dari 17 abad silam. Perayaan ini merupakan ungkapan –dalam agama paganis Romawi– kecintaan terhadap sesembahan mereka.
Perayaan ini memiliki akar sejarah berupa beberapa kisah yang turun-temurun pada bangsa Romawi dan kaum Nasrani pewaris mereka. Kisah yang paling masyhur tentang asal-muasalnya adalah bahwa bangsa Romawi dahulu meyakini bahwa Romulus –pendiri kota Roma– disusui oleh seekor serigala betina, sehingga serigala itu memberinya kekuatan fisik dan kecerdasan pikiran. Bangsa Romawi memperingati peristiwa ini pada pertengahan bulan Februari setiap tahun dengan peringatan yang megah. Di antara ritualnya adalah menyembelih seekor anjing dan kambing betina, lalu dilumurkan darahnya kepada dua pemuda yang kuat fisiknya. Kemudian keduanya mencuci darah itu dengan susu. Setelah itu dimulailah pawai besar dengan kedua pemuda tadi di depan rombongan. Keduanya membawa dua potong kulit yang mereka gunakan untuk melumuri segala sesuatu yang mereka jumpai. Para wanita Romawi sengaja menghadap kepada lumuran itu dengan senang hati, karena meyakini dengan itu mereka akan dikaruniai kesuburan dan melahirkan dengan mudah.

Apa Hubungan St. Valentine dengan Perayaan Ini?
Versi I: Disebutkan bahwa St. Valentine adalah seorang yang mati di Roma ketika disiksa oleh Kaisar Claudius sekitar tahun 296 M. Di tempat terbunuhnya di Roma, dibangun sebuah gereja pada tahun 350 M untuk mengenangnya.
Ketika bangsa Romawi memeluk Nasrani, mereka tetap memperingati Hari Kasih Sayang. Hanya saja mereka mengubahnya dari makna kecintaan kepada sesembahan mereka, kepada pemahaman lain yang mereka istilahkan sebagai martir kasih sayang, yakni St. Valentine, sang penyeru kasih sayang dan perdamaian, yang –menurut mereka– mati syahid pada jalan itu.
Di antara aqidah batil mereka pada hari tersebut, dituliskan nama-nama pemudi yang memasuki usia nikah pada selembar kertas kecil, lalu diletakkan pada talam di atas lemari buku. Lalu diundanglah para pemuda yang ingin menikah untuk mengambil salah satu kertas itu. Kemudian sang pemuda akan menemani si wanita pemilik nama yang tertulis di kertas (yang diambilnya) selama setahun. Keduanya saling menguji perilaku masing-masing, baru kemudian mereka menikah. Bila tidak cocok, mereka mengulangi hal yang serupa tahun mendatang.
Para pemuka agama Nasrani menentang sikap membebek ini, dan menganggapnya sebagai perusak akhlak para pemuda dan pemudi. Maka perayaan ini pun dilarang di Italia. Dan tidak diketahui kapan perayaan ini dihidupkan kembali.
Versi II: Bangsa Romawi di masa paganis dahulu merayakan sebuah hari raya yang disebut hari raya Lupercalia1. Ini adalah hari raya yang sama seperti pada kisah versi I di atas. Pada hari itu, mereka mempersembahkan qurban bagi sesembahan mereka selain Allah l. Mereka meyakini bahwa berhala-berhala itu mampu menjaga mereka dari keburukan dan menjaga binatang gembalaan mereka dari serigala.
Ketika bangsa Romawi memeluk agama Nasrani, dan Kaisar Claudius II berkuasa pada abad ketiga, dia melarang tentaranya menikah. Karena menikah akan menyibukkan mereka dari peperangan yang mereka jalani. Maka St. Valentine menentang peraturan ini, dan dia menikahkan tentara secara diam-diam. Kaisar lalu mengetahuinya dan memenjarakannya, sebelum kemudian dia dihukum mati.
Versi III: Kaisar Claudius II adalah penyembah berhala, sedangkan Valentine adalah penyeru agama Nasrani. Sang Kaisar berusaha mengeluarkannya dari agama Nasrani dan mengembalikannya kepada agama paganis Romawi. Namun Valentine tetap teguh memeluk agama Nasrani, dan dia dibunuh karenanya pada 14 Februari 270 M, malam hari raya paganis Romawi: Lupercalia.
Ketika bangsa Romawi memeluk Nasrani, mereka tetap melakukan perayaan paganis Lupercalia, hanya saja mereka mengaitkannya dengan hari terbunuhnya Valentine untuk mengenangnya.

Syi’ar Perayaan Hari Kasih Sayang
1. Menampakkan kegembiraan dan kesenangan.
2. Saling memberi mawar merah, sebagai ungkapan cinta, yang dalam budaya Romawi paganis merupakan bentuk cinta kepada sesembahan kepada selain Allah l.
3. Menyebarkan kartu ucapan selamat hari raya tersebut. Pada sebagiannya terdapat gambar Cupid, seorang anak kecil dengan dua sayap membawa busur dan panah. Cupid adalah dewa cinta erotis dalam mitologi Romawi paganis. Maha Tinggi Allah dari kedustaan dan kesyirikan mereka dengan ketinggian yang besar.
4. Saling memberi ucapan kasih sayang, rindu, dan cinta dalam kartu ucapan yang saling mereka kirim.
5. Di banyak negeri Nasrani diadakan perayaan pada siang hari, dilanjutkan begadang sambil berdansa, bercampur baur lelaki dan perempuan.
Beberapa versi kisah yang disebutkan seputar perayaan ini dan simbolnya, St. Valentine, bisa memberikan pencerahan kepada orang berakal. Terlebih lagi seorang muslim yang mentauhidkan Allah l. Pemaparan di atas menjelaskan hakikat perayaan ini kepada kaum muslimin yang tidak tahu dan tertipu, kemudian ikut merayakannya. Mereka hakikatnya meniru umat Nasrani yang sesat, dan mengambil segala yang datang dari Barat, Nasrani, lagi atheis.

Renungan
Barangsiapa yang membaca kisah yang telah disebutkan seputar perayaan paganis ini, akan jelas baginya hal-hal berikut:
1. Asalnya adalah aqidah paganis (penyembahan berhala) kaum Romawi, untuk mengungkapkan rasa cinta kepada berhala yang mereka ibadahi selain Allah l. Barangsiapa yang merayakannya, berarti dia merayakan momen pengagungan dan penyembahan berhala. Padahal Allah l telah mengingatkan kita dari perbuatan syirik:
“Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu: ‘Jika kamu mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi. Karena itu, maka hendaklah Allah saja yang kamu sembah dan hendaklah kamu termasuk orang-orang yang bersyukur’.” (Az-Zumar: 65-66)
Allah l juga menyatakan melalui lisan ‘Isa q:
“Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang dzalim itu seorang penolongpun.” (Al-Ma`idah: 72)
Dan seorang muslim wajib berhati-hati dari syirik dan segala yang akan mengantarkan kepada syirik.
2. Awal mula perayaan ini di kalangan bangsa Romawi paganis terkait dengan kisah dan khurafat yang tidak bisa diterima akal sehat, apalagi akal seorang muslim yang beriman kepada Allah l dan para rasul-Nya.
Pada satu versi, disebutkan bahwa seekor serigala betina menyusui Romulus pendiri kota Roma, sehingga memberinya kekuatan fisik dan kecerdasan pikiran. Ini menyelisihi aqidah seorang muslim, bahwa yang memberikan kekuatan fisik dan kecerdasan pikiran hanyalah Allah l, Dzat Maha Pencipta, bukan air susu serigala. Dalam versi lain, pada perayaan itu kaum Romawi paganis mempersembahkan qurban untuk berhala sesembahan mereka, dengan keyakinan bahwa berhala-berhala itu mampu mencegah terjadinya keburukan dari mereka dan mampu melindungi binatang gembalaan mereka dari serigala. Padahal, akal yang sehat mengetahui bahwa berhala tidaklah dapat menimpakan kemudaratan, tidak pula bisa memberikan suatu kemanfaatan.
Bagaimana mungkin seorang berakal mau ikut merayakan perayaan seperti ini? Terlebih lagi seorang muslim yang Allah l telah menganugerahkan agama yang sempurna dan aqidah yang lurus ini kepadanya.
3. Di antara syi’ar jelek perayaan ini adalah menyembelih anjing dan domba betina, lalu darahnya dilumurkan kepada dua orang pemuda, kemudian darah itu dicuci dengan susu, dst. Orang yang berfitrah lurus tentu akan menjauh dari hal yang seperti ini. Akal yang sehat pun tidak bisa menerimanya.
4. Keterkaitan St. Valentine dengan perayaan ini diperselisihkan, juga dalam hal sebab dan kisahnya. Bahkan, sebagian literatur meragukannya dan menganggapnya sebagai sesuatu yang tidak pernah terjadi. Sehingga pantas bagi kaum Nasrani untuk tidak mengakui perayaan paganis ini yang mereka tiru dari bangsa Romawi paganis. Terlebih lagi keterkaitan perayaan ini dengan salah satu santo (orang-orang suci dalam khazanah Nasrani, ed.) mereka, masih diragukan. Bila merayakannya teranggap sebagai aib bagi kaum Nasrani, yang telah mengganti-ganti agama mereka dan mengubah kitab mereka, tentu lebih tercela bila seorang muslim yang ikut merayakannya. Dan bila benar bahwa perayaan ini terkait dengan terbunuhnya St. Valentine karena mempertahankan agama Nasrani, maka apa hubungan kaum muslimin dengan St. Valentine?
5. Para pemuka Nasrani telah menentang perayaan ini karena timbulnya kerusakan akhlak pemuda dan pemudi akibat perayaan ini, maka dilaranglah perayaan ini di Italia, pusat Katholik. Lalu perayaan ini muncul kembali dan tersebar di Eropa. Dari sanalah menular ke negeri kaum muslimin. Bila pemuka Nasrani –pada masa mereka– mengingkari perayaan ini, maka wajib bagi para ulama kaum muslimin untuk menerangkan hakikatnya dan hukum merayakannya. Sebagaimana wajib bagi kaum muslimin yang awam untuk mengingkari dan tidak menerimanya, sekaligus mengingkari orang yang ikut merayakannya atau menularkannya kepada kaum muslimin.

Mengapa Kaum Muslimin Tidak Boleh Merayakannya?
Sebagian kaum muslimin yang ikut merayakannya mengatakan bahwa Islam juga mengajak kepada kecintaan dan kedamaian. Dan Hari Kasih Sayang adalah saat yang tepat untuk menyebarkan rasa cinta di antara kaum muslimin. Sehingga, apa yang menghalangi untuk merayakannya?
Jawaban terhadap pernyataan ini dari beberapa sisi:
1. Hari raya dalam Islam adalah ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah l. Hari raya merupakan salah satu syi’ar agama yang agung. Sedangkan dalam Islam, tidak ada hari raya kecuali hari Jum’at, Idul Fithri, dan Idul Adh-ha. Perkara ibadah harus ada dalilnya. Tidak bisa seseorang membuat hari raya sendiri, yang tidak disyariatkan oleh Allah l dan Rasul-Nya n.
Berdasarkan hal ini, perayaan Hari Kasih Sayang ataupun selainnya yang diada-adakan, adalah perbuatan mengada-adakan (bid’ah) dalam agama, menambahi syariat, dan bentuk koreksi terhadap Allah l, Dzat yang telah menetapkan syariat.
2. Perayaan Hari Kasih Sayang merupakan bentuk tasyabbuh (menyerupai) bangsa Romawi paganis, juga menyerupai kaum Nasrani yang meniru mereka, padahal ini tidak termasuk (amalan) agama mereka.
Ketika seorang muslim dilarang menyerupai kaum Nasrani dalam hal yang memang termasuk agama mereka, maka bagaimana dengan hal-hal yang mereka ada-adakan dan mereka menirunya dari para penyembah berhala?
Seorang muslim dilarang menyerupai orang-orang kafir –baik penyembah berhala ataupun ahli kitab– baik dalam hal aqidah dan ibadah, maupun dalam adat yang menjadi kebiasaan, akhlak, dan perilaku mereka. Allah l berfirman:
“Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat.” (Ali ‘Imran: 105)
“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka)? Dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al-Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.” (Al-Hadid: 16)
Nabi n bersabda:
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk golongan mereka.” (HR. Ahmad, 3/50, dan Abu Dawud, no. 5021)
Tasyabbuh (menyerupai) orang kafir dalam perkara agama mereka –di antaranya adalah Hari Kasih Sayang– lebih berbahaya daripada menyerupai mereka dalam hal pakaian, adat, atau perilaku. Karena agama mereka tidak lepas dari tiga hal: yang diada-adakan, atau yang telah diubah, atau yang telah dihapuskan hukumnya (dengan datangnya Islam). Sehingga, tidak ada sesuatupun dari agama mereka yang bisa menjadi sarana mendekatkan diri kepada Allah l.
3. Tujuan perayaan Hari Kasih Sayang pada masa ini adalah menyebarkan kasih sayang di antara manusia seluruhnya, tanpa membedakan antara orang yang beriman dengan orang kafir. Hal ini menyelisihi agama Islam. Hak orang kafir yang harus ditunaikan kaum muslimin adalah bersikap adil dan tidak mendzaliminya. Dia juga berhak mendapatkan sikap baik –bila masih punya hubungan silaturahim– dengan syarat: tidak memerangi atau membantu memerangi kaum muslimin. Allah l berfirman:
“Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (Al-Mumtahanah: 8)
Bersikap adil dan baik terhadap orang kafir tidaklah berkonsekuensi mencintai dan berkasih sayang dengan mereka. Allah l bahkan memerintahkan untuk tidak berkasih sayang dengan orang kafir dalam firman-Nya:
“Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka.” (Al-Mujadilah: 22)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t berkata: “Sikap tasyabbuh akan melahirkan sikap kasih sayang, cinta dan loyalitas di dalam batin. Sebagaimana kecintaan yang ada di batin akan melahirkan sikap menyerupai.” (Al-Iqtidha`, 1/490)
4. Kasih sayang yang dimaksud dalam perayaan ini semenjak dihidupkan oleh kaum Nasrani adalah cinta, rindu, dan kasmaran, di luar hubungan pernikahan. Buahnya, tersebarnya zina dan kekejian, yang karenanya pemuka agama Nasrani –pada waktu itu– menentang dan melarangnya.
Kebanyakan pemuda muslimin merayakannya karena menuruti syahwat, dan bukan karena keyakinan khurafat sebagaimana bangsa Romawi dan kaum Nasrani. Namun hal ini tetaplah tidak bisa menafikan adanya sikap tasyabbuh (menyerupai) orang kafir dalam salah satu perkara agama mereka. Selain itu, seorang muslim tidak diperbolehkan menjalin hubungan cinta dengan seorang wanita yang tidak halal baginya, yang merupakan pintu menuju zina.

Sikap yang Seharusnya Ditempuh Seorang Muslim
1. Tidak ikut merayakannya, menyertai orang yang merayakannya, atau menghadirinya.
2. Tidak membantu/mendukung orang kafir dalam perayaan mereka, dengan memberikan hadiah, menyediakan peralatan untuk perayaan itu atau syi’ar-syi’arnya, atau meminjaminya.
3. Tidak membantu kaum muslimin yang ikut-ikutan merayakannya. Bahkan ia wajib mengingkari mereka, karena kaum muslimin yang merayakan hari raya orang kafir adalah perbuatan mungkar yang harus diingkari.
Dari sini, kaum muslimin tidak boleh pula menjual bingkisan (pernak-pernik) bertema Hari Kasih Sayang, baik pakaian tertentu, mawar merah, kartu ucapan selamat, atau lainnya. Karena memperjualbelikannya termasuk membantu kemungkaran. Sebagaimana juga tidak boleh bagi orang yang diberi hadiah Hari Kasih Sayang untuk menerimanya. Karena, menerimanya mengandung makna persetujuan terhadap perayaan ini.
4. Tidak memberikan ucapan selamat Hari Kasih Sayang, karena hari itu bukanlah hari raya kaum muslimin. Dan bila seorang muslim diberi ucapan selamat Hari Kasih Sayang, maka dia tidak boleh membalasnya.
5. Menjelaskan hakikat perayaan ini dan hari-hari raya orang kafir yang semisalnya, kepada kaum muslimin yang tertipu dengannya.
(Diringkas dari makalah ‘Idul Hubb, Qishshatuhu, Sya’airuhu, Hukmuhu, karya Ibrahim bin Muhammad Al-Haqil)

1 Adalah upacara ritual kesuburan yang dipersembahkan kepada Lupercus (dewa kesuburan, dewa padang rumput, dan pelindung ternak) dan Faunus (dewa alam dan pemberi wahyu). Pada tahun 494 M, Dewan Gereja di bawah pimpinan Paus Gelasius I mengubah ritual tersebut menjadi perayaan purifikasi (penyucian diri). Dua tahun kemudian, Paus Gelasius I mengubah tanggal perayaan, dari tanggal 15 menjadi 14 Februari. (red
Sumber Artikel: http://asysyariah.com/mitos-valentine-day/

Minggu, 08 Februari 2015

HIKMAH DIBALIK COBAAN / MUSIBAH YANG MENIMPA SEORANG HAMBA



dari Abu Hurairah¹ radhiyallahu ‘anhu dia berkata: Bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
ﻣﻦ ﻳﺮﺩ ﷲ ﺑﻪ ﺧﻴﺮﺍ ﻳﺼﺐ ﻣﻨﻪ
“Barangsiapa yang dikehendaki oleh Allah dengan suatu kebaikan, maka Allah akan menimpakan kepadanya suatu cobaan.” (HR. Al Bukhari).²
—————
1 ‘Abdurrahman bin Shakhr Ad Dausi Al Yamani (Menurut pendapat yang masyhur).
2 Abu ‘Abdillah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin Al Mughirah bin Bardizbah Al Ju’fi Al Bukhari.

Sabtu, 07 Februari 2015

PENERIMAAN SANTRI BARU TARBIYATUL AULAD (TA) DAN MARHALAH IBTIDAIYYAH (MI) TAHUN 2015/2016


Bismillahirrohmaanirrohim
MUQODDIMAH
Anak adalah amanah bagi orang tua. Anak merupakan buah hati dan penyejuk pandangan mata, sekaligus kenikmatan yang Allah anugerahkan pada hamba-hamba yang dikehendaki-Nya. Anak-anak yang sholih dan sholihah, memiliki aqidah yang shohihah, berilmu yang amaliyah dan berakhlaq karimah adalah dambaan kita semua.
            Adalah kewajiban bagi setiap orang tua untuk memberikan pengajaran (pendidikan) yang terbaik kepada putra-putrinya, terlebih pendidikan yang berkaitan dengan agama mereka. Manakala orang tua tidak mampu memberikan pengajaran yang memadai baik sisi keagamaan maupun akademis bagi anak-anaknya, yang disebabkan oleh terbatasnya waktu dan ilmu mereka, maka ketika itu sebuah lembaga pendidikan yang ideal dibutuhkan menjadi partner untuk mewujudkan apa yang dicita-citakan.
            Ma’had Utsman bin Affan yang merupakan pondok pesantren penyelenggara program WAJARDIKDAS yang telah mendapat rekomendasi dari Kementerian Agama dengan 2 program yang baru berjalan yaitu : Tarbiyatul Athfal/TK, dan Marhalah Ibtidaiyyah/SD sebagai salah satu lembaga pendidikan, berusaha untuk membantu mewujudkan harapan orang tua dengan menyelenggarakan pendidikan berkualitas, yang berbasis kepada nilai-nilai agama berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah sesuai dengan pemahaman Salaful ummah.
            Mari bergabung bersama Ma’had Utsman bin Affan dalam upaya mewujudkan generasi muslim yang kuat di masa mendatang.
VISI
Mewujudkan generasi muslim yang sholih dan sholihah serta berakhlak mulia
MISI
Ø      Menyelenggarakan pendidikan berbasis nilai-nilai agama, berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan pemahaman Salaful Ummah.

Ø      Menanamkan kecintaan, pemahaman, pengamalan dan perhatian yang mendalam terhadap Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai dasar hukum islam sejak dini.

Ø      Meningkatkan kompetensi peserta didik dalam penguasaan dan peningkatan ilmu agama dan ilmu pengetahuan umum yang mendukung.

Ø      Mewujudkan suasana kondusif dalam upaya mengembangkan pembelajaran yang menyenangkan guna menghasilkan peserta didik yang mencintai ilmu agama dan bersemangat beramal sholih dalam kehidupan sehari-hari.

معهد
 عثمان بن عفان

Pondok Pesantren Utsman bin Affan

PENERIMAAN
SANTRI BARU

Jl. S. Parman No. 25 RT 06/04 Rawajaya
Bantarsari – Cilacap 53258
HP. 085223346334
TARBIYATUL ATHFAL ( TK ) 
Adalah Lembaga Pendidikan PRA SEKOLAH berbasis Islam yang berupaya mencetak generasi yang beraqidah, beribadah, berkepribadian yang benar dan kokoh serta menyiapkan Insan yang kreatif dan siap melangkah menuju ke jenjang berikutnya.
Kurikulum
Menggunakan perpaduan Kurikulum Departemen Agama, Pesantren, dan Kurikulum Pendidikan Arab Saudi dengan metode : Teori, Praktek dan pembiasaan dalam kehidupan sehari-hari.
Materi
Program Pengembangan dan Pembentukan Perilaku : Aqidah, Akhlaq, Ibadah, Tarikh, Doa-doa harian, Seni, Bahasa, Kognitif, Fisik motorik, Sosial, Emosional dan Kemandirian.

Program Unggulan dan Pengembangan Keilmuan :
Hafalan Al-Qur’an dan Hadits Arba’in
Bahasa Arab
Membaca Arab dan Latin
Berhitung Dasar

Waktu dan Tempat Pendaftaran
Tanggal
: 1 Januari s/d 31 Juli
Waktu
: Pukul 08.00 s.d 11.00 WIB
Tempat
: Jl. S. Parman No. 25 RT 06/04 Rawajaya
Informasi
: Ummu Zulfa : 08xx

Syarat-syarat pendaftaran :
Ø      Datang bersama anak (usia 4 – 6 tahun)
Ø      Membawa 1 lembar foto copy Akte Kelahiran
Ø      Mengisi Formulir Pendaftaran
Ø      Membayar uang pendaftaran Rp. 20.000,-

Klik website kami : www.mahad-utsman.com

MARHALAH IBTIDAIYYAH ( SD )

PERSYARATAN PENDAFTARAN
·         Muslim/Muslimah
·         Berusia minimal 6 – 7 tahun untuk kelas 1
·         Mandiri (mampu mandi dan BABK sendiri)
·         Membayar uang pendaftaran Rp. 30.000,-
·         Sehat Jasmani dan Rohani
·         1 lembar foto copy akta kelahiran
·         Foto copy Ijazah TK (bagi yang TK)
·         Foto copy raport / raport asli (bagi pindahan)
·         Lulus Tes dan wawancara

TEMPAT DAN WAKTU PENDAFTARAN
Tempat            : Ma’had Utsman bin Affan
                          Jl. S. Parman No. 25 RT 06/04
                          Rawajaya – Bantarsari Cilacap
Waktu              : Tanggal 1 Januari – 31 Juli
Jam                 : 08.00 – 12.00 WIB

BIAYA PENDIDIKAN
Informasi Banin : Ust Abu Bakar 085223346334
                Banat : Ummu Unaisah



 

Blogger news

Blogroll

About