BTemplates.com

Pages

Senin, 29 Juni 2015

Pembatal Puasa Yang Disepakati


Sebelumnya perlu diketahui bahwa hukum asal dari seseorang yang telah berniat puasa, maka puasanya tetap syah dan tidak batal sampai ada dalil yang meyakinkan bahwa puasanya batal. Karenanya setiap orang yang mengklaim sesuatu itu pembatal puasa maka dia dituntut untuk mendatangkan dalil atas klaimnya. Jika dalilnya benar maka diterima dan jika tidak ada dalilnya maka klaimnya tertolak.
Juga penting untuk diketahui bahwa semua pembatal puasa yang akan kami sebutkan, baik yang disepakati maupun yang diperselisihkan, dia nanti membatalkan puasa jika yang melakukannya adalah orang yang: Sengaja, atas kehendak sendiri (tidak terpaksa), dan tahu kalau hal itu membatalkan puasa. Karenanya jika ada seseorang yang mengerjakan pembatal puasa, akan tetapi dia tidak sengaja atau karena dipaksa atau karena tidak mengetahui kalau itu pembatal puasa, maka puasanya tetap syah dan tidak ada dosa atasnya, sebagaimana yang akan datang rinciannya, wallahu a’lam. Lihat penjabaran dan penerapan kaidah ini dalam Ithaful Anam hal. 71-75, 101-102
Berikut beberapa pembatal puasa yang disepakati
1.    Makan dan Minum.
Keduanya membatalkan puasa jika dikerjakan dengan sengaja berdasarkan Al-Qur`an, As-Sunnah dan ijma’.
Allah Ta’ala berfirman, “Maka sekarang silakan kalian menyentuh mereka (istri kalian) dan carilah apa yang Allah telah tetapkan untuk kalian. Dan makan dan minumlah kalian hingga nampak benang putih dari benang hitam yaitu fajar.” (QS. Al-Baqarah: 187)
Adapun dari hadits, maka sabda Nabi   dalam hadits qudsi:
يَدَعُ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَشَهْوَتَهُ مِنْ أَجْلِيْ
“Dia meninggalkan makanannya, minumannya, dan syahwatnya karena Aku.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah)
Ijma’ akan hal ini telah dinukil oleh sejumlah ulama, di antaranya: Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla (733), Ibnul Mundzir dalam Al-Isyraf dan Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni (3/14)
2.    Jima’ (melakukan hubungan intim)
Berdasarkan kedua dalil di atas serta ijma’ di kalangan ulama.
Ibnu Qudamah berkata dalam Al-Mughni (3/27), “Tidak ada perbedaan antara kalau kemaluannya itu adalah qubul maupun dubur, dari laki-laki maupun wanita, dan ini adalah pendapat Asy-Syafi’i.” An-Nawawi juga mengatakan dalam Al-Majmu’ (6/341-342), “Ucapan-ucapan Asy-Syafi’i serta teman-teman kami semuanya sepakat bahwa melakukan hubungan intim dengan wanita pada duburnya, liwath dengan anak kecil (sodomi) atau lelaki dewasa (homoseksual), itu hukumnya sama dengan melakukannya dengan wanita di qubulnya.”
An-Nawawi juga berkata dalam Al-Majmu’ (6/341), “Melakukan jima’ dengan zina atau yang semacamnya, atau nikah fasid, atau melakukannya dengan budaknya atau saudarinya atau anaknya, wanita kafir, dan wanita lainnya, semuanya sama dalam hal membatalkan puasa, wajibnya qadha, kaffarah, dan menahan diri pada sisa siangnya. Dan ini tidak ada perbedaan pendapat di dalamnya.”
Kami katakan: Kecuali pada pewajiban qadha`, karena padanya ada perbedaan pendapat sebagaimana yang akan disebutkan, dan yang benarnya itu tidak diwajibkan.
3.    Menelan ludah orang lain.
Imam An-Nawawi berkata dalam Al-Majmu’ (6/318), “Para ulama telah bersepakat bahwa jika seseorang menelan ludah orang lain maka dia telah berbuka.”
4.    Merokok.
Kami memasukkannya ke bagian ini karena kami tidak mengetahui adanya fatwa ulama lain selain dari fatwa Syaikh Ibnu Al-Utsaimin yang menyatakan merokok adalah pembatal puasa. Hal itu karena asapnya akan berubah menjadi cairan lalu melekat pada paru-paru seseorang. Karenanya paru-paru perokok biasanya berwarna hitam karena asap yang masuk.
Lihat Fatawa Ramadhan beliau (2/527-528)
Kami katakan: Dan juga karena rokok bisa memberikan ketahanan dan kekuatan bagi orang yang berpuasa sehingga kadang dia tidak merasakan lapar dan lelah, karenanya dia dihukumi sama dengan makan dan minum.

Sumber : http://al-atsariyyah.com/pembatal-puasa-yang-disepakati.html

Hal-Hal Yang Tidak Membatalkan Puasa


1. Bersiwak.
Dibolehkan seseorang untuk bersiwak baik dengan siwak yang basah maupun yang kering. Berdasarkan keumuman sabda Nabi :
لَوْلاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي لَأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ صَلاَةٍ
“Seandainya aku tidak khawatir akan menyusahkan umatku niscaya aku akan memerintahkan mereka untuk bersiwak setiap kali shalat.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah)
Juga keumuman hadits Aisyah bahwa Nabi  bersabda:
السِّوَاكُ مُطَهِّرَةٌ لِلْفَمِ وَمَرْضَاةٌ لِلرَّبِ
“Siwak itu penyuci mulut dan keridhaan dari Ar-Rabb.” (HR. An-Nasai dengan sanad yang hasan)
Ini adalah pendapat Imam Malik dalam salah satu riwayat, Abu Hanifah, Ahmad dalam salah satu riwayat, Ats-Tsauri dan Al-Auzai. Pendapat ini juga diriwayatkan dari Ali, Ibnu Umar, Urwah dan Mujahid.
Sementara Imam Ahmad dalam riwayat yang lain, Asy-Syafi’i dan Ishaq berpendapat dimakruhkannya bersiwak setelah tergelincirnya matahari. Mereka berdalil dengan hadits Ali secara marfu’, “Bersiwaklah kalian di pagi hari dan janganlah kalian bersiwak di waktu sore.” (HR. Ad-Darquthni)
Akan tetapi ini adalah hadits yang lemah, di dalam sanadnya ada Kaisan Abu Umar Al-Qashshar, seorang rawi yang lemah dan juga ada rawi lain yang bernama Yazid bin Bilal, tidak diketahui siapa dia. Hadits ini dilemahkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Al-Irwa` no. 67
Ada pendapat ketiga yang menyatakan dimakruhkannya bersiwak dengan siwak kering karena dikhawatirkan ada bagian siwak yang bisa tertelan. Ini adalah pendapat Asy-Sya’bi, Qatadah, al-Hakam, Ishaq, Malik dalam riwayat yang lain dan Ahmad dalam riwayat yang lain.
Pendapat yang kuat adalah pendapat yang pertama, ini adalah pendapat yang dikuatkan oleh Imam Al-Bukhari dan Ibnu Hazm, serta pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiah.
Adapun penggunaan pasta gigi, maka yang difatwakan oleh para masyaikh di antaranya: Ibnu Baz, Ibnu Al-Utsaimin dan Al-Fauzan adalah bahwa dia tidak mengapa menggunakannya selama tidak masuk ke dalam saluran pencernaannya. Walaupun Syaikh Ibnu Al-Utsaimin lebih menganjurkan untuk tidak menggunakannya. Lihat Fatawa Ramadhan beliau (2/494-497)
2. Istinsyaq (Menghirup Air Ke Dalam Hidung)
Hal ini dibolehkan walaupun di luar wudhu. Adapun di dalam wudhu maka hukumnya wajib -menurut pendapat yang paling kuat- sebagaimana bisa dilihat dalam pembahasan wudhu. Hal ini berdasarkan hadits Laqith bin Saburah riwayat Abu Daud dan At-Tirmizi:
بَالِغْ فِي الْإِسْتِنْشَاقِ إِلاَّ أَنْ تَكُوْنَ صَائِمًا
“Bersungguh-sungguhlah dalam istinsyaq kecuali kalau kamu dalam keadaan berpuasa.”
Kalaupun airnya secara tidak sengaja tertelan, maka pendapat yang kuat dalam masalah ini adalah puasanya tidak batal. Ini adalah pendapat Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur, Al-Hasan, dan yang dikuatkan oleh Al-Bukhari, Ibnu Hazm, dan Syaikh Ibnu Al-Utsaimin.
[Ithaful Anam hal. 57, 65-66]
3. Menelan ludah.
Imam An-Nawawi menukil ijma’ bahwa hal itu tidak membatalkan puasa. Hal itu karena menelan ludah adalah hal yang tidak bisa dihindari dan sangat sering terjadi pada banyak orang. Seandainya dia adalah pembatal puasa niscaya akan diterangkan dalam syariat.
Sampai walaupun seseorang itu sengaja mengumpulkan ludahnya lantas menelannya, maka tetap hal itu tidak membatalkan puasanya. Walaupun pada kasus yang kedua ini ada perbedaan pendapat, hanya saja inilah yang dikuatkan oleh Ibnu Qudamah, Syaikh Ibnu Baz dan Syaikh Ibnu Utsaimin -rahimahumullah-.
Lihat Al-Majmu’ (6/317-318) dan Al-Mughni (3/16-17)
4. Mencicipi atau mengunyah makanan tanpa menelannya.
Misalnya dia ingin membeli makanan tapi dia butuh untuk mengetahui rasanya, demikian halnya seseorang yang memasak dalam keadaan berpuasa atau seseorang yang menghaluskan makanan -dengan mulutnya- untuk bayinya.
Imam Ahmad dan Asy-Syafi’i berpendapat semua hal di atas tidak mengapa karena tidak adanya dalil yang menunjukkan bahwa itu adalah pembatal puasa. Hanya saja kalau tidak ada keperluan maka dimakruhkan melakukan hal tersebut.
[Ithaful Anam hal. 62-63]
5. Menelan lalat/nyamuk secara tidak sengaja atau mulutnya kemasukan debu dan semacamnya tidaklah membatalkan puasa. Al-Hafizh berkata dalam Al-Fath (4/184), “Ibnul Mundzir menukil kesepakatan ulama bahwa siapa yang mulutnya kemasukan lalat dalam keadaan dia berpuasa maka tidak ada kewajiban apa-apa atasnya.”
6. Ihtilam (mimpi basah)
Tidak membatalkan puasa berdasarkan ijma’. Ijma’ dinukil oleh Ibnu Abdil Barr dalam At-Tamhid (7/192), An-Nawawi dalam Al-Majmu’ (6/322), dan Ibnu Taimiah dalam Kitab Ash-Shiyam (1/307, 485)
7. Orang yang masuk di waktu subuh dalam keadaan sudah suci dari hadats akbar tapi dia belum mandi. Imam An-Nawawi menukil adanya ijma’ bahwa hal itu tidak bermasalah, hendaknya dia mandi lalu berpuasa dan puasanya syah.
Semisal dengan kasus ini adalah: Wanita yang baru suci dari haid atau nifas sebelum subuh tapi dia mandi setelah azan subuh, anak kecil yang balig dengan ihtilam sebelum subuh dan mandi junub setelah azan subuh, dan orang kafir yang masuk Islam sebelum dan mandinya setelah azan subuh. Semuanya boleh dan syah berpuasa dengan syarat dia telah berniat untuk puasa sebelum dikumandangkannya azan subuh, sebagaimana telah berlalu pada pembahasan niat.
Wallahu a’lam bishshawab.

Seputar Adab-Adab Berpuasa


1.    Menjauhi semua bentuk maksiat.
Dari Abu Hurairah  bahwa Nabi   bersabda:
مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ اَلزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ, وَالْجَهْلَ, فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
“Barangsiapa yang tidak meninggalkan ucapan dusta dan beramal dengannya serta kejahilan, maka Allah tidak butuh dia meninggalkan makanan dan minumannya.” (HR. Al-Bukhari no. 1903)
Ash-Shan’ani -rahimahullah- berkata dalam Subulus Salam (4/126), “Hadits ini merupakan dalil akan haramnya dusta dan beramal dengannya, serta menunjukkan haramnya orang yang berpuasa berbuat kejahilan. Kedua hal ini juga diharamkan atas orang yang tidak berpuasa, hanya saja keharamannya lebih kuat terkhusus bagi orang yang berpuasa, sebagaimana lebih kuatnya pengharaman zina atas seorang yang sudah tua dan pengharaman sombong atas orang yang fakir.”
2.    Membaca Al-Qur`an.
Allah Ta’ala berfirman, “Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil).” (QS. Al-Baqarah: 185) Dan juga Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya Kami menurunkannya (Al-Qur`an) pada lailatul qadr.” (Al-Qadr: 1)
Karenanya sudah sepantasnya seorang muslim menghabiskan waktunya di dalam bulan ramadhan untuk membaca Al-Qur`an, baik di dalam shalat maupun di luar shalat.
3.    Banyak bersedekah.
Dari Ibnu Abbas dia berkata:
“Rasulullah   adalah orang yang paling dermawan, dan saat dimana beliau menjadi lebih dermawan dari biasanya adalah pada bulan ramadhan tatkala Jibril menjumpai beliau.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
4.    Shalat lail/tarawih.
Dari Abu Hurairah  bahwa Nabi   bersabda:
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا, غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa yang shalat (lail) pada bulan ramadhan karena iman dan mengharap pahala, akan diampuni seluruh dosanya yang telah berlalu.” (HR. Al-Bukhari no. 2009 dan Muslim no. 759)
Dan secara khusus pada lailatul qadr beliau bersabda, “Barangsiapa yang shalat (lail) pada lailatul qadr karena iman dan mengharap pahala, akan diampuni seluruh dosanya yang telah berlalu.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Dan dalam hadits yang shahih, Rasulullah   bersabda:
مَنْ صَلَّى مَعَ إِمَامِهِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةٍ
“Barangsiapa yang shalat bersama imamnya sampai selesai, maka akan dituliskan baginya pahala shalat semalam suntuk.”
5.    Memperbanyak doa.
Dari Abu Hurairah  bahwa Nabi   bersabda:
ثَلاَثَةٌ لاَ يُرَدُّ دُعَاؤُهُمْ: إِمَامٌ عَادِلٌ, الصَّائِمُ حَتَّى يُفْطِرَ, وَدُعَاءُ الْمَظْلُوْمِ …
“Ada tiga orang yang tidak akan ditolak doa mereka: Imam yang adil, orang yang berpuasa hingga dia berbuka dan doa orang yang terzhalimi … .” al-hadits. (HR. Ibnu Majah dan dishahihkan oleh Syaikh Muqbil dalam Al-Jami’: 2/506)
6.    Menjaga lisan.
Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Nabi   bersabda:
إِذَا كَانَ يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ فَلاَ يَرْفَثْ وَلاَ يَصْخَبْ. إِذَا شَاتَمَهُ أَحَدٌ أَوْ قَاتَلَهُ فَلْيَقُلْ: إِنِّي صَائِمٌ
“Jika itu pada hari berpuasa salah seorang di antara kalian maka janganlah dia berbuat keji dan jangan pula berteriak. Jika ada seseorang yang mencelanya atau memukulnya maka hendaknya dia mengatakan: Sesungguhnya saya sedang berpuasa.”

Sumber : http://al-atsariyyah.com/seputar-adab-adab-berpuasa.html

Seputar Sahur


Keutamaan Makan Sahur
Dari Anas bin Malik bahwa Nabi -Shallallahu alaihi wasallam- bersabda:
“Bersahurlah kalian karena di dalam sahur itu terdapat berkah.” (HR. Al-Bukhari no. 1923 dan Muslim 1095)
Dalam hadits Amr bin Al-Ash secara marfu’:
“Pembeda antara puasa kita dengan puasa ahli kitab adalah makan sahur.” (HR. Muslim)
Dan dalam riwayat An-Nasa`i, Nabi -Shallallahu alaihi wasallam- bersabda tentang makan sahur, “Sesungguhnya dia adalah berkah yang Allah berikan kepada kalian, maka janganlah kalian meninggalkannya.” Dishahihkan oleh Syaikh Muqbil dalam Al-Jami’ Ash-Shahih (2/422)
Hukum Makan Sahur
Imam Ibnul Mundzir berkata dalam Al-Isyraf, “Umat telah ijma’ bahwa sahur itu dianjurkan lagi disunnahkan, tidak ada dosa bagi yang meninggalkannya.”
Dan Ibnu Qudamah juga berkata dalam Al-Mughni (3/54), “Kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam masalah ini.” Maksudnya dalam hal sunnahnya makan sahur.
Sunnahnya Mengakhirkan Sahur
Berdasarkan hadits Anas dari Zaid bin Tsabit dia berkata, “Kami makan sahur bersama Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- kemudian kami berdiri mengerjakan shalat.” Anas bertanya, “Berapa lama selang waktu antara azan dan makan sahur?” dia menjawab, “Sekitar membaca 50 ayat.” (HR. Al-Bukhari no. 1921 dan Muslim no. 1097)
Berdasarkan hadits ini maka akhir waktu sahur adalah awal waktu berpuasa dan ini merupakan pendapat mayoritas ulama, berdasarkan ayat 87 dari surah Al-Baqarah, “Makan dan minumlah kalian sampai nampak benang putih dari benang hitam yaitu fajar. Karenanya, walaupun tanda imsak sudah diumumkan, maka tetap dihalalkan untuk makan dan minum selama azan subuh belum dikumandangkan. Tanda imsak yang kami maksudkan adalah seruan untuk menghentikan makan dan minum sekitar 15 atau 20 menit sebelum azan subuh guna berjaga-jaga. Kami katakan, syah-syah saja kalau seseorang mau menghentikan makan dan minum sebelum azan, apakah karena dia kenyang atau alasan lainnya. Akan tetapi yang salah besar kalau imsak ini dijadikan tanda haramnya makan dan minum dan mengharuskan orang lain untuk menaatinya, sehingga tersebarkan keyakinan rusak bahwa orang yang makan pada waktu imsak (padahal belum azan) maka puasanya batal. Kalau sekedar ingin berjaga-jaga, maka seseorang bisa tetap makan pada waktu imsak dan segera berhenti kurang lebih satu menit -misalnya- sebelum azan subuh.
Dengan Apa Seseorang Bersahur?
Nabi -shallallahu alaihi wasallam- bersabda, “Bersahurlah kalian walaupun dengan seteguk air.” (HR. Ibnu Hibban no. 3476) Nabi -Shallallahu alaihi wasallam- juga bersabda, “Sebaik-baik sahur seorang mukmin adalah korma.” (HR. Abu Daud no. 2345)
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam Fatul Bari (1922), “Sahur bisa dikerjakan dengan makanan atau minuman sekecil apapun yang dimakan oleh seseorang.” Syaikhul Islam Ibnu Taimiah juga berkata dalam Kitab Ash-Shiyam (1/520-521), “Yang lebih tepat adalah jika dia sanggup untuk makan maka itulah yang sunnah.”
Orang Yang Ragu Akan Terbitnya Fajar
Apakah seseorang masih bisa makan selama dia ragu kalau fajar telah terbit? Misalnya karena dia mengetahui muazzinnya sering azan sebelum waktu subuh dan semacamnya.
Ia dia masih bisa makan. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala, ”Makan dan minumlah kalian sampai jelas bagi kalian benang putih dari benang hitam yaitu fajar.” (QS. Al-Baqarah: 187) Sementara orang ini belum jelas baginya kalau fajar telah terbit.
Syaikhul Islam berkata sebagaimana dalam Al-Fatawa (25/260), “Orang yang ragu akan terbitnya fajar, dia boleh makan, minum, dan jima’ berdasarkan kesepakatan ulama.”
Akan tetapi yang benarnya ini adalah pendapat mayoritas ulama, karena Imam An-Nawawi menyebutkan dalam Al-Majmu’ bahwa Imam Malik berpendapat lain dalam masalah ini. Dan tentunya pendapat yang benar adalah pendapat mayoritas ulama.

Sumber : http://al-atsariyyah.com/seputar-sahur.html

Sabtu, 27 Juni 2015

Seputar Niat Puasa


Hukum Niat
Niat adalah rukun berpuasa sebagaimana pada seluruh ibadah. Nabi -Shallallahu alaihi wasallam- bersabda, “Sesungguhnya setiap amalan itu (syah atau tidaknya) tergantung dengan niatnya dan setiap orang akan mendapatkan apa yang dia niatkan.” (HR.Al-Bukhari dan Muslim dari Umar bin Al-Khaththab)
Niat dalam ibadah, baik wudhu, shalat, puasa dan selainnya tidak perlu dilafazhkan. Ibnu Taimiah -rahimahullah- berkata, “Mengucapkan niat (secara jahr) tidak diwajibkan dan tidak pula disunnahkan berdasarkan kesepakatan kaum muslimin.” (Majmu’ Al-Fatawa: 22/218-219) Dan dalam (22/236-237) beliau berkata, “Niat adalah maksud dan kehendak, sedangkan maksud dan kehendak tempatnya adalah di hati, bukan di lidah, berdasarkan kesepakatan orang-orang yang berakal. Walaupun dia berniat dengan hatinya (tanpa memantapkannya dengan ucapan, pen.), Maka niatnya syah menurut Imam Empat dan menurut seluruh imam kaum muslimin baik yang terdahulu maupun yang belakangan.” Maka sekedar bangunnya seseorang di akhir malam untuk makan sahur -padahal dia tidak biasa bangun di akhir malam-, itu sudah menunjukkan dia mempunyai maksud dan kehendak -dan itulah niat- untuk berpuasa.
Waktu Berniat
Diriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Ibnu Umar dan Hafshah -radhiallahu anhuma- bahwa keduanya berkata:
“Barangsiapa yang tidak memalamkan niatnya sebelum terbitnya fajar maka tidak ada puasa baginya.” (HR. Abu Daud no. 2454, At-Tirmizi no. 730, An-Nasai (4/196), dan Ibnu Majah no. 1700)
Hadits ini disebutkan oleh sejumlah ulama mempunyai hukum marfu’, yakni dihukumi kalau Nabi yang mengucapkannya. Karena isinya merupakan sesuatu yang bukan berasal dari ijtihad dan pendapat pribadi.
Maka dari hadits ini jelas bahwa waktu niat adalah sepanjang malam sampai terbitnya fajar. Hadits ini juga menunjukkan wajibnya berniat dari malam hari dan tidak syahnya puasa orang yang berniat setelah terbitnya fajar. Ini adalah pendapat mayoritas Al-Malikiah, Asy-Syafi’iyah. dan Al-Hanabilah. Dan ini yang dikuatkan oleh Ibnu Qudamah, An-Nawawi, Ibnu Taimiah, Ash-Shan’ani dan Asy-Syaukani.
Catatan:
Kecuali kalau dia baru mendengar kabar hilal ramadhan di pagi hari, maka ketika itu hendaknya dia berpuasa dan puasanya syah, karena tidak mungkin bagi dia untuk kembali berniat di malam hari.
[Al-Mughni: 3/7, Al-Majmu’: 6/289-290, An-Nail: 4/196, dan Al-Muhalla no. 728]
Apakah Syah Berniat Di Awal Ramadhan Untuk Sebulan Penuh?
Pendapat yang menyatakannya syahnya adalah pendapat Zufar, Malik, salah satu riwayat dari Ahmad dan salah satu riwayat dari Ishaq.
Hal itu karena puasa ramadhan adalah satu kesatuan, sama seperti rangkaian ibadah haji yang cukup diniatkan sekali.
Sementara jumhur ulama berpendapat wajibnya berniat setiap malamnya berdalilkan hadits Hafshah dan Ibnu Umar di atas.
Mereka mengatakan: Karena jumlah malam dalam ramadhan adalah 29 atau 30 hari maka wajib untuk memalamkan niat pada tiap malam tersebut.
Yang kuat dalam masalah ini adalah pendapat yang pertama, dan ini adalah pendapat yang dikuatkan oleh Ibnu Taimiah dan Syaikh Ibnu Al-Utsaimin.
Akibat perbedaan pendapat ini nampak pada satu masalah yaitu:
Jika seorang yang wajib berpuasa pingsan atau tidur sebelum terbenamnya matahai dan baru sadar atau bangun setelah terbitnya fajar kedua. Maka menurut pendapat mayoritas ulama, dia tidak boleh berpuasa dan puasanya tidak syah walaupun dia berpuasa, sementara menurut pendapat yang kedua dia boleh berpuasa dan puasanya syah karena telah berniat di awal ramadhan.
Maka dari sini kami berkesimpulan bahwa yang kuat adalah pendapat yang pertama, yakni yang menyatakan bolehnya berniat di awal ramadhan untuk sebulan penuh, wallahu a’lam.
[Al-Mughni: 3/9, Al-Majmu’: 6/302, Kitab Ash-Shiyam: 1/198-199, Asy-Syarhul Mumti’: 6/369, dan At-Taudhih: 3/151]

Sumber : http://al-atsariyyah.com/seputar-niat.html

Seputar Hilal


Penentuan Awal Waktu Berpuasa
Puasa ramadhan dimulai dengan masuknya bulan ramadhan. Karenanya untuk menentukan awal waktu berpuasa maka kita harus mengetahui kapan masuknya bulan ramadhan.
Para ulama bersepakat bahwa bulan dalam Islam hanya 29 atau 30 hari, dan mereka juga bersepakat bahwa dalam penentuan bulan-bulan hijriah hanya digunakan salah satu dari dua cara: Rukyat (melihat) hilal bulan berikutnya atau menggenapkan bulan sebelumnya menjadi 30 hari jika hilal tidak terlihat. Sehingga bulan ramadhan bisa kita tentukan dengan: Rukyat hilal ramadhan atau menggenapkan bulan sya’ban menjadi 30 hari jika hilal ramadhan tidak terlihat. Demikian pula penentuan idul fithr: Dengan rukyat hilal syawal atau menggenapkan ramadhan menjadi 30 hari jika hilal syawal tidak terlihat.
Apa itu hilal?
Dia adalah bulan sabit kecil yang muncul setelah matahari terbenam di akhir tanggal 29 tiap bulannya. Munculnya sesaat setelah itu menghilang kembali.
Sehingga dalam penentuan masuknya ramadhan, maka pada tanggal 29 sya’ban menjelang magrib, kita pergi ke tempat-tempat yang memungkinkan hilal terlihat dari situ . Ketika matahari terbenam maka dilihat: Jika hilalnya terlihat, artinya besok sudah 1 ramadhan, jika tidak terlihat -baik karena tertutupi awan atau karena hujan- maka berarti bulan ramadhan tahun itu jumlahnya 30 hari dan secara otomatis lusa sudah masuk 1 syawal, karena telah dijelaskan bahwa bulan dalam Islam maksimal 30 hari. Demikian pula yang kita lakukan dalam penentuan bulan syawal atau hari idul fithr.
Semua ini berdasarkan hadits Ibnu Umar bahwa Nabi -Shallallahu alaihi wasallam- bersabda:
إِذَا رَأَيْتُمُوْهُ فَصُوْمُوْا وَإِذَا رَأَيْتُمُوْهُ فَأَفْطِرُوا, فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوْا لَهُ
“Jika kalian melihatnya (hilal ramadhan) maka berpuasalah dan jika kalian melihatnya (hilal syawal) maka berbukalah. Jika hilal terhalangi dari kalian maka hitunglah dia.” HR. Al-Bukhari no. 1900 dan Muslim no. 1080)
Dalam riwayat Muslim:
فَإِنْ أُغْمِيَ عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوْا لَهُ ثَلاَثِيْنَ
“Kalau awan menghalangi kalian melihatnya maka hitunglah dia menjadi 30.”
Dalam riwayat Al-Bukhari:
الشَّهْرُ تَسْعَةٌ وَعِشْرُوْنَ, فَلاَ تَصُوْمُوْا حَتَّى تَرَوْهُ. فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوْا الْعِدَّةَ ثَلاَثِيْنَ
“Bulan itu 29 malam, karenanya janganlah kalian berpuasa sampai kalian melihatnya. Jika dia terhalangi dari kalian maka sempurnakanlah jumlahnya menjadi 30.” (HR. Al-Bukhari no. 1907)
Dari Aisyah beliau berkata, “Adalah Nabi -Shallallahu alaihi wasallam- berjaga-jaga pada (akhir) sya’ban tidak sebagaimana beliau berjaga-jaga pada bulan lainnya. Kemudian beliau mulai berpuasa karena melihat hilal, dan jika awan menghalangi beliau dari melihatnya maka beliau menghitung (menggenapkan sya’ban) 30 hari kemudian baru berpuasa.” (HR. Abu Daud dengan sanad yang shahih)
Faidah:
Asy-Syaikh Ibnu Al-Utsaimin berkata, “Adapun menggunakan alat yang bernama dirbil -yaitu teropong pembesar dalam melihat hilal- maka itu tidak mengapa, hanya saja bukan merupakan kewajiban, karena lahiriah hadits menunjukkan hanya bersandar pada pandangan normal (tanpa bantuan alat, pent.), bukan dengan selainnya.” Fatawa Ramadhan (1/62)
[Subulus Salam Syarh Bulughul Maram: 1/161-162 dan Ithaf Al-Anam hal. 11]
Jika Ada Sebuah Negeri Yang Melihat Hilal (Ramadhan/Syawal), Apakah Wajib Atas Negeri Lainnya Untuk Mengikutinya (Berpuasa/Berbuka)?
Tidak ada seorang ulama pun yang mengingkari bahwa setiap negeri mempunyai hilal tersendiri, karena hal itu adalah kenyataan dan juga sebagaimana ditunjukkan dalam hadits Kuraib yang akan datang. Hanya saja yang mereka perselisihkan adalah, jika sudah ada sebuah negeri yang lebih dahulu melihat hilal lantas dia mereka mengabarkannya ke negeri-negeri lain, apakah semua negeri tersebut harus mengikutinya ataukah mereka menunggu hilal di negeri mereka masing-masing?
Ada beberapa pendapat di kalangan para ulama dalam masalah ini, di antaranya:
1. Wajib atas seluruh negeri lainnya untuk mengikutinya. Ini adalah pendapat Al-Hanafiah, Al-Malikiah, Asy-Syafi’i dan sebagian Asy-Syafi’iyah, dan yang masyhur dalam mazhab Imam Ahmad, juga merupakan mazhab Al-Laits bin Sa’ad. Ini yang dikuatkan oleh banyak ulama di antaranya: Ibnu Taimiah sebagaimana dalam Majmu’ Al-Fatawa, Asy-Syaukani, Shiddiq Hasan Khan, Syaikh Al-Albani dan Syaikh Ibnu Baz.
Mereka berdalil dengan ayat 185 dari surah Al-Baqarah, “Maka barangsiapa di antara kalian yang melihatnya (hilal ramadhan) maka hendaknya dia berpuasa.” Dan juga hadits Abu Hurairah secara marfu’, “Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal ramadhan) dan berbukalah kalian karena melihatnya (hilal syawal).” (HR. Al-Bukhari no. 1909 dan Muslim no. 1081) Dan juga hadits Ibnu Umar yang telah berlalu.
Mereka mengatakan bahwa perintah dalam hadits ini ditujukan kepada seluruh kaum muslimin tanpa ada pengkhususan pada daerah tertentu. Sama seperti ketika diperintah shalat maka perintahnya berlaku umum untuk seluruh kaum muslimin di berbagai negeri, tidak terkhusus pada kaum muslimin di tempat tertentu. Lihat ucapan Asy-Syaukani dalam Nailul Authar (4/194)
Mereka juga mengatakan bahwa pendapat ini lebih menyatukan kaum muslimin dan menampakkan syiar Islam di berbagai negeri tatkala secara serentak mereka semua berpuasa, dan itu memberikan pengaruh tersendiri kepada musuh-musuh Islam.
2. Yang wajib mengikutinya hanyalah negeri yang semathla’ (tempat terbitnya matahari) dengan negeri yang melihatnya. Ini adalah mazhab Asy-Syafi’iyah, sebagian Al-Malikiah dan Al-Hanafiah, dan salah satu pendapat Ahmad. Ini adalah pilihan Ibnu Abdil Barr dalam At-Tamhid dan Ibnu Taimiah dalam Al-Ikhtiyarat, serta yang dikuatkan oleh Asy-Syaikh Muqbil dan Asy-Syaikh Ibnu Al-Utsaimin.
Mereka juga berdalil dengan dalil yang sama dengan pendapat pertama, hanya saja mereka mengatakan perintah pada dalil-dalil tersebut ditujukan kepada negeri-negeri yang semathla’ dengannya.
3. Setiap negeri tidak wajib mengikutinya, tapi mereka menunggu hilal di negeri mereka masing-masing. Ibnu Al-Mundzir menukil pendapat ini dari Ikrimah, Al-Qasim bin Muhammad, Salim bin Abdillah bin Umar, dan Ishaq bin Rahawaih.
Mereka berdalilkan dengan kisah Abu Kuraib yang diutus oleh Ibnu Abbas yang berada di Madinah untuk menuju Syam. Dia diutus pada bulan sya’ban kemudian kembali ke Madinah di akhir bulan ramadhan. Lalu Ibnu Abbas bertanya kepadanya, “Kapan kalian melihat hilal (ramadhan)?” dia menjawab, “Kami melihatnya pada malam jumat,” Ibnu Abbas berkata, “Akan tetapi kami melihatnya pada malam sabtu. Maka kami akan tetap berpuasa sampai 30 hari atau kami melihatnya (hilal syawal).” Maka Kuraib berkata, “Kenapa kamu tidak mencukupkan dengan (baca: mengikuti) rukyat dan puasanya Muawiah (Amirul Mukminin yang ketika itu berdiam di Syam)?” Ibnu Abbas menjawab, “Tidak, demikianlah yang Rasulullah -Shallallahu alaihi wasallam- perintahkan kepada kami.” (HR. Muslim no. 1078)
4. Setiap negeri mengikuti pemimpinnya, kalau dia berpuasa maka mereka juga ikut berpuasa, dan kalau tidak maka mereka tidak boleh berpuasa. Demikian pula halnya dalam idul fithr. Kalau umat Islam mempunyai khalifah lantas dia menetapkan berpuasa maka wajib atas seluruh kaum muslimin untuk mengikutinya.
Mereka berdalil dengan hadits:
الصَّوْمُ يَوْمَ يَصُوْمُ النَّاسُ وَالْفِطْرُ يَوْمَ يُفْطِرُ النَّاسُ
“Waktu berpuasa adalah hari ketika semua orang berpuasa dan hari berbuka adalah hari ketika semua orang berbuka.” (HR. At-Tirmizi no. 697 dari Abu Hurairah)
Asy-Syaikh Ibnu Al-Utsaimin berkata dalam Asy-Syarhul Mumti’ (6/311), “Yang diamalkan oleh manusia pada umumnya di zaman ini adalah pendapat ini, yaitu jika pemerintah sudah menetapkan maka wajib atas seluruh rakyat yang berada di bawah wilayahnya untuk mengikutinya dalam hal berpuasa dan berbuka (lebaran).”
Tarjih:
Pendapat yang paling tepat adalah pendapat yang pertama.
Adapun pendapat yang kedua maka kita katakan bahwa perbedaan mathla’ adalah perkara yang tidak bisa ditetapkan dengan batasan dan ukuran tertentu. Apa yang menjadi batasan dalam menggolongkan sebuah negeri ikut ke mathla’ ini dan yang lainnya tidak?! Karenanya Syaikh Al-Albani berkata dalam Tamamul Minnah, “Mathla-mathla’ adalah perkara nisbi, dia tidak mempunyai batasan nyata yang dengannya manusia bisa mengetahuinya dengan jelas.”
Adapun dalil pendapat ketiga maka itu hanyalah ijtihad dari Ibnu Abbas -radhiallahu anhuma- semata dan beliau tidak membawakan dalil dari Nabi. Adapun ucapannya, “Tidak, demikianlah yang Rasulullah -Shallallahu alaihi wasallam- perintahkan kepada kami,” maka yang dimaksudkan dengannya adalah hadits Ibnu Umar dan Abu Hurairah tentang perintah berpuasa dan berbuka karena melihat hilal. Demikian yang diterangkan oleh Ibnu Taimiah, Ibnu Daqiqil Id, Asy-Syaukani, dan selainnya.
Adapun pendapat yang keempat, maka dalil mereka itu berlaku bagi orang yang berpuasa dengan rukyat negerinya, kemudian di tengah ramadhan datang kabar bahwa hilal di negeri lain terlihat sehari atau dua hari sebelum negerinya. Maka dalam keadaan seperti itu hendaknya dia melanjutkan puasanya bersama penduduk negerinya hingga 30 hari atau mereka melihat hilal. Jawaban semisal ini disebutkan oleh Ash-Shan’ani dalam Subulus Salam
Catatan:
Walaupun pendapat yang kuat adalah pendapat yang pertama, akan tetapi yang berpendapat dengannya hendaknya tidak menampakkan penyelisihannya terhadap pemerintah, guna menjaga persatuan kaum muslimin, sebagaimana yang akan ditengkan setelah ini.
[Al-Majmu': 6/273-274, Al-Mughni: 3/5, Kitab Ash-Shiyam dari Syarhul Umdah: 1/170-175, Fathul Bari no. 1911, Syarh Musllim: 7/197, Majmu’ Al-Fatawa: 25/103, Ar-Raudhah An-Nadiyah: 1/224-225, Tamamul Minnah hal. 398, Asy-Syarhul Mumti’: 6/308-312, Taudhihul Ahkam: 3/140, dan Shahih Fiqhus Sunnah: 2/95-96]
Orang Yang Melihat Hilal Sendirian, Apa Yang Wajib Dia Lakukan?
Misalnya dia melapor ke pemerintah bahwa dia melihat hilal akan tetapi pemerintah tidak menerima persaksiannya. Kalau yang dia lihat adalah hilal ramadhan maka ada dua pendapat di kalangan ulama:
1. Wajib atasnya berpuasa walaupun dia sendirian. Ini adalah mazhab Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafi’i, Ahmad dan mayoritas ulama. Ini pendapat yang dikuatkan oleh Imam Ash-Shan’ani dan Asy-Syaikh Ibnu Al-Utsaimin. Mereka berdalil dengan keumuman ayat dan hadits yang memerintahkan berpuasa bagi orang yang melihat hilal, sementara orang ini telah melihatnya.
2. Dia harus ikut kepada orang-orang di negerinya. Ini adalah pendapat Asy-Sya’bi, Al-Hasan, Ibnu Sirin dan salah satu riwayat dari Ahmad. Ini yang dikuatkan oleh Ibnu Taimiah, Syaikh Ibnu Baz dan Syaikh Al-Albani. Mereka berdalil dengan hadits Abu Hurairah riwayat At-Tirmizi di atas.
Yang kuat adalah pendapat mayoritas ulama. Adapun dalil pendapat kedua dijawab bahwa hadits itu berlaku bagi orang yang tidak mengetahui adanya hilal yang berbeda dengan hilal negerinya atau dia belum yakin akan munculnya hilal, sebagaimana telah diterangkan di atas.
Adapun kalau yang dia lihat adalah hilal syawal, maka juga ada dua pendapat di kalangan ulama:
1. Dia tetap berbuka akan tetapi tidak terang-terangan untuk menjaga persatuan dan jangan sampai disangka dia tidak mau taat kepada pemerintah. Ini adalah mazhab Asy-Syafi’i, salah satu riwayat dari Ahmad, dan yang dikuatkan oleh Imam Ibnu Hazm. Adapun masalah shalat, maka hendaknya dia shalat bersama pemerintah di negerinya. Mereka berdalilkan dengan keumuman perintah berbuka ketika melihat hilal syawal.
2. Dia tidak boleh berbuka dan harus tetap berpuasa bersama penduduk negerinya. Mereka berdalilkan dengan hadits Abu Hurairah riwayat At-Tirmizi di atas.
Yang kuat adalah pendapat pertama. Jawaban atas dalil pendapat kedua telah disebutkan di atas.
[Majmu’ Al-Fatawa: 25/114-118, Al-Mughni: 3/47, At-Tamhid: 7/158-159, As-Subul: 3/217-218, Al-Muhalla no. 757, Kitab Ash-Shiyam: 1/154,  dan Asy-Syarhul Mumti': 6/328-330]
Jika Dia Mendapat Kabar Dari Orang Lain Bahwa Hilal Sudah Nampak.
Sekelompok ulama Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah menyatakan bahwa dia tetap wajib untuk berpuasa walaupun pemerintah tidak menerima persaksian orang itu, selama orang yang mengabarinya adalah jujur, walaupun dia sendirian.
Adapun pada hilal syawal, maka dipersyaratkan saksi atau yang mengabarinya harus minimal dua orang. Ini adalah pendapat Malik, Al-Laits, Al-Auzai, Ats-Tsauri, salah satu dari dua pendapat Asy-Syafi’i, Ahmad, dan Ibnu Al-Mubarak dan ini adalah pendapat mayoritas ulama.
[Al-Majmu': 6/277, Al-Mughni: 3/48, dan Al-Muhalla no. 757]
Orang Yang Terlambat Mendapatkan Kabar Tentang Adanya Hilal
Jika hilalnya ramadhan, yang kuat dalam masalah ini adalah pendapat yang menyatakan hendaknya dia langsung berpuasa walaupun dia telah makan sebelumnya, dan itu sudah syah baginya, tidak perlu diqadha`. Ini adalah pendapat Umar bin Abdil Aziz, Ibnu Hazm, Ibnu Taimiah dan yang dikuatkan oleh Asy-Syaukani dan Shiddiq Hasan Khan dalam Ar-Raudhah.
Mereka berdalilkan kisah ketika diwajibkannya puasa asyura yang ketika itu Nabi -Shallallahu alaihi wasallam- umumkan di pagi hari dimana beliau bersabda, “Barangsiapa yang berpuasa maka hendaknya dia melanjutkan puasanya, dan barangsiapa yang telah berbuka (makan sebelumnya) maka hendaknya dia menyempurnakan berpuasa pada sisa harinya.” (HR. Muslim dari Salamah bin Al-Akwa’)
Jika hilalnya syawal, maka Ibnu Abdil Barr dalam At-Tamhid (7/161) menukil ijma’ ulama akan wajibnya mereka berbuka ketika itu juga dan langsung mengerjakan shalat id jika kabarnya diterima sebelum tergelincirnya matahari. Adapun jika kabarnya diterima setelah matahari tergelincir maka yang kuat adalah bahwa shalat id dikerjakan keesokan paginya karena para ulama bersepakat bahwa shalat id tidak boleh dikerjakan setelah tergelincirnya matahari. Ini adalah pendapat Ats-Tsauri dan yang dikuatkan oleh Syaikh Muqbil rahimahullah.
[Al-Mughni: 3/33, Al-Majmu': 6/271, Al-Muhalla: 4/293-294, dan Al-Inshaf: 3/254]

Berpuasa Sebelum Ramadhan Karena Ragu


Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda:
لَا يَتَقَدَّمَنَّ أَحَدُكُمْ رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ إِلَّا أَنْ يَكُونَ رَجُلٌ كَانَ يَصُومُ صَوْمَهُ فَلْيَصُمْ ذَلِكَ الْيَوْمَ
“Janganlah seorang dari kalian mendahului bulan Ramadhan dengan berpuasa satu atau dua hari sebelumnya. Kecuali seseorang sudah biasa melaksanakan puasa (sunnah) maka pada hari itu dia dipersilahkan untuk melaksanakannya”. (HR. Al-Bukhari no. 1914 dan Muslim no. 1802)
Yakni: Jika puasa yang dia biasa kerjakan kebetulan bertepatan dengan sehari atau dua hari sebelum ramadhan maka dia tetap boleh berpuasa.
Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata;: Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ
“Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal ramadhan) dan berbukalah kalian karena melihatnya (hilal syawal). Apabila kalian terhalang oleh awan maka sempurnakanlah jumlah bilangan hari bulan Sya’ban menjadi tiga puluh”. (HR. Al-Bukhari no. 1909)
Dari Shilah bin Zufar dia berkata: Ketika kami bersama ‘Ammar bin Yasir lalu dihidangkan kambing yang telah dibakar, dia berkata, “Makanlah.” Maka ada sebagian orang beranjak mundur sambil berkata, “Saya sedang berpuasa.” Maka Ammar berkata:
مَنْ صَامَ الْيَوْمَ الَّذِي يَشُكُّ فِيهِ النَّاسُ فَقَدْ عَصَى أَبَا الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Barang siapa yang berpuasa pada hari syak (yang diragukan) maka dia telah durhaka terhadap Abu Al-Qasim (Rasulullah) shallallahu alaihi wasallam.” (HR. Abu Daud no. 1987, At-Tirmizi no. 686,An-Nasai no.2159, dan Ibnu Majah no. 1635)
Hari yang diragukan adalah hari yang diperdebatkan apakah hari itu sudah masuk Ramadhan atau masih akhir Sya’ban.
Penjelasan ringkas:
Di antara syarat syahnya niat adalah niat tersebut harus dijazmkan (dipastikan) dan tidak boleh ragu-ragu dalam niat. Hal itu karena semua ibadah dalam Islam dibangun di atas keyakinan, dan karenanya selama seorang muslim belum meyakini sesuatu maka tidak ada kewajiban yang berlaku atasnya.
Termasuk di dalamnya masalah puasa Ramadhan, sungguh tuntunan Islam dalam hal ini sangat mudah. Islam menuntunkan untuk menjadikan hilal sebagai patokan, dan itu sudah lebih dari cukup. Tinggal melihat, jika hilal nampak di tanggal 29 akhir tiap bulan maka berarti besok sudah bulan baru, tapi jika tidak maka bulan tersebut digenapkan menjadi 30 hari dan lusa otomatis sudah masuk bulan baru. Sangat mudah dan insya Allah setiap muslim bisa melakukannya.
Berlandaskan keterangan di atas, maka wajar jika Islam mengharamkan untuk berpuasa sehari atau dua hari sebelum ramadhan dengan niat jaga-jaga kalau-kalau itu sudah masuk ramadhan. Karena itu berarti dia tidak mengerjakan puasa ramadhan di atas keyakinan.
Adapun masalah hilal, maka silakan baca artikel tentang itu di sini: http://al-atsariyyah.com/seputar-hilal.html
Adapun masalah berpuasa sehari atau dua hari sebelum Ramadhan maka:
1.    Diharamkan jika niatnya untuk jaga-jaga atau ragu-ragu. Ini berdasarkan hadits Ammar bin Yasir di atas.
2.    Diperbolehkan jika pada hari itu bertepatan dengan puasa yang biasa dia kerjakan, seperti puasa Daud atau puasa senin kamis. Ini berdasarkan hadits Abu Hurairah di atas.
3.    Larangan pada kedua hadits di atas hanya berlaku untuk puasa sunnah. Adapun bagi yang mempunyai puasa wajib semacam puasa nazar atau puasa qadha` ramadhan tahun lalu, maka dia tetap wajib berpuasa walaupun itu pada sehari atau dua hari sebelum Ramadhan.
4.    Bagi orang yang tidak biasa memperbanyak puasa di bulan Sya’ban, maka dia tidak diperbolehkan untuk berpuasa Sya’ban di hari-hari terakhir Sya’ban (yaitu sehari atau dua hari terakhir). Karena amalannya itu bertentangan dengan hadits Abu Hurairah.
5.    Adapun jika dia sudah terbiasa puasa Sya’ban sebulan penuh atau sebagian besarnya setiap tahunnya maka tidak mengapa dia berpuasa di hari-hari terakhir Sya’ban karena itu sudah menjadi kebiasaannya.

Sumber : http://al-atsariyyah.com/berpuasa-sebelum-ramadhan-karena-ragu.html

Alhamdulillah.. TELAH DIBUKA GRUP WHATSAPP "BELAJAR BAHASA ARAB"


Alhamdulillah..
TELAH DIBUKA GRUP WHATSAPP "BELAJAR BAHASA ARAB"

Download arsip Audio Belajar Bahasa Arab : Di Sini (Audio Belajar Bahasa Arab)

Seluruh pujian hanya milik Allah Subhaanahu wa Ta'ala yang telah memberikan berbagai macam nikmat kepada kita.
Diantara umat manusia yang Allah ciptakan, tidak semua diberi nikmat islam. Dan diantara yang diberi nikmat islam tidak semua diberi nikmat kecintaan terhadap ilmu, untuk mempelajarinya, untuk menghadiri kajian-kajian. Karena itulah ketika seorang diberi kecintaan terhadap ilmu, maka dia merupakan nikmat besar yang khusus Allah beri kepada orang-orang pilihannya.
Dan diantara orang-orang yang diberi kecintaan terhadap ilmu, Allah pilih lagi diantara mereka ada yang diberi kekuatan cinta yang lebih sehingga mencintai bahasa arab dan ingin mempelajarinya, sebab kekuatan ilmu terletak pada kekuatan bahasa.
Sumber ilmu adalah Alqur'an dan Assunnah, dan keduanya adalah dengan berbahasa arab. Oleh karena itu siapa yang ingin mendapatkan kemuliaan agama, maka kuasailah ilmu bahasa arab.

🌴Alhamdulillah.. Berkat Nikmat dan Kasih Sayang dari ALLAH Azza Wa Jalla..

Telah dibuka Group Whatsapp:
"Belajar Bahasa Arab [BBA]
yang dikelola dan diasuh oleh :

"Hafidz Abu Abdillah - Cilacap Hafidzahullah

📌 CARA BERGABUNG :

Dan ada beberapa grup belajar bahasa arab yang kami kelola, yaitu :

1. Grup BBA : JURUMIYAH (Ikhwan)
untuk bergabung ketik : Daftar BBA Jurumiyah nama/umur/alamat
contoh : Daftar BBA Jurumiyah_muslim/25/cilacap
lalu kirim via whatsapp/sms ke 085870232179 atau 085232225048

2. Grup BBA : NAHWU (Akhwat)
untuk bergabung ketik : Daftar BBA NAHWU LIL AKHAWAT nama/umur/alamat
contoh : Daftar BBA Nahwu lil akhawat_Nisa/20/Bandung
lalu kirim via whatsapp/sms ke [AFWAN SEMENTARA KELAS DITUTUP, KARENA KUOTA SUDAH PENUH, SILAHKAN TUNGGU KELAS BARU DIBUKA KEMBALI] Info hub. 085870232179

3. Grup BBA : SHOROF (Akhwat)
untuk bergabung ketik : Daftar BBA SHOROF LIL AKHAWAT nama/umur/alamat
contoh : Daftar BBA Shorof lil akhawat_Qonita/23/Makassar
lalu kirim via whatsapp/sms ke [AFWAN SEMENTARA KELAS DITUTUP, KARENA KUOTA SUDAH PENUH, SILAHKAN TUNGGU KELAS BARU DIBUKA KEMBALI] Info hub. 085870232179

4. Grup BBA : BAHASA ARAB PEMULA / DURUSULLUGHOH (Akhwat)
untuk bergabung ketik : Daftar BBA PEMULA nama/umur/alamat
contoh : Daftar BBA Pemula akhawat_Putri/25/Bogor
lalu kirim via whatsapp/sms ke [AFWAN SEMENTARA KELAS DITUTUP, KARENA KUOTA SUDAH PENUH, SILAHKAN TUNGGU KELAS BARU DIBUKA KEMBALI] Info hub. 085870232179
 
🌿Semoga Allah ta'ala senantiasa memberikan TaufiqNya kepada kita semua untuk selalu semangat dalam menuntut ilmu agama islam dengan benar..
⚡Kami mohon maaf atas segala kekurangan dalam grup ini, semoga dengan adanya grup ini akan menjadi washilah agar lebih mendekatkan diri kita kepada Allah ta’ala, agar kita bisa memanfaatkan nikmat yang telah Allah ta'ala berikan kepada kita. Allaahumma aamiin..
---------------------


Barakallahu fiikum
TTD
Admin
085647956476
085647710225
Klik official web kami
🌏www.mahad-utsman.com

Sabtu, 20 Juni 2015

NASEHAT DATANGNYA BULAN RAMADHAN




NASEHAT MENYAMBUT DATANGNYA BULAN RAMADHAN

Asy Syaikh Fauzan bin Abdillah al Fauzan hafizhahullah
Pertanyaan :
Apa nasehat anda kepada kaum muslimin terkait telah dekatnya bulan Ramadhan?
Jawaban :
Wajib bagi kaum muslimin untuk memohon kepada Allah agar dia bisa sampai kebulan Ramadhan, dan diberi kemampuan untuk berpuasa serta melaksanakan shalat tarawih padanya, dan juga bisa beramal saleh pada bulan Ramadhan. Dikarenakan bulan tersebut merupakan kesempatan besar dikehidupan seorang muslim.
“Barang siapa yang berpuasa pada bulan Ramadhan dikarenakan keimanan dan mengharap pahala, maka akan diampuni dosanya yang terdahulu ” (H.R al-Bukhari)
” Barang siapa yang shalat malam pada bulan Ramadhan dikarenakan keimanan dan mengharap pahala,  maka akan diampuni dosanya yang terdahulu. “(H.R al-Bukhari)
Maka ini merupakan kesempatan besar bagi setiap muslim -untuk beramal- yang mungkin saja dia tidak bisa mendapatkan kesempatan kedua setelahnya.
Maka seorang muslim hendaknya bergembira dan merasa senang dengan datangnya bulan Ramadhan, menyambutnya dengan penuh kegembiraan, menggunakan kesempatan pada bulan tersebut untuk memperbanyak ketaatan. Shalat dimalam hari dan pada siang harinya berpuasa, membaca Al-qur’an dan berdzikir, yang mana ini semua merupakan ghanimah bagi setiap muslim.
Adapun orang-orang yang menyambut bulan Ramadhan dengan mempersiapkan berbagai kegiatan-kegiatan yang negatif, seperti acara musik, acara drama yang bersambung, acara -acara lawakan atau perlombaan kuis, yang semua ini melalaikan kaum muslimin -dari ibadah-, maka mereka ini adalah bala tentara Syaithan.
Maka wajib bagi setiap muslim untuk berhati-hati dari mereka, dan mentahzir mereka.
Bulan Ramadhan bukanlah waktu untuk bermain-main atau perkara sia-sia seperti kuis-kuis dan semisalnya yang semua ini menyia-nyiakan waktu
Alihbahasa : Syabab Forum Salafy
—————————————-
نصيحة بمناسبة قرب شهر رمضان.
السؤال:
ما نصيحتكم للمسلمين بمناسبة اقتراب شهر رمضان؟
الجواب: الواجب على المسلم يسأل الله أن يبلغه رمضان وأن يعينه على صيامه وقيامه، والعمل فيه، لأنه فرصة في حياة المسلم: ” مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ”، “مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ”، فهو فرصة في حياة المسلم قد لا يعود عليه مرة ثانية.
فالمسلم يفرح بقدوم رمضان ويستبشر به، ويستقبله بالفرح والسرور، ويستغله في طاعة الله ليله قيام، ونهاره صيام وتلاوة للقرآن والذكر فهو مغنم للمسلم، أما الذين إذا أقبل رمضان يعدون البرامج الفاسدة والملهية والمسلسلات والخزعبلات والمسابقات ليشغلوا المسلمين فهؤلاء جند الشيطان، الشيطان جندهم لهذا، فعلى المسلم أن يحذر من هؤلاء ويحذر منهم، رمضان ما هو وقت لهو ولعب ومسلسلات وجوائز ومسابقات وضياع للوقت.
http://alfawzan.af.org.sa/node/14849 - See more at: http://www.almanshurohcilacap.com/artikel/nasehat-menyambut-datangnya-bulan-ramadhan/#sthash.0MCHMkyI.dpuf

Nasehat Menyambut Datangnya Bulan Ramadhan

NASEHAT MENYAMBUT DATANGNYA BULAN RAMADHAN
Asy Syaikh Fauzan bin Abdillah al Fauzan hafizhahullah
Pertanyaan :
Apa nasehat anda kepada kaum muslimin terkait telah dekatnya bulan Ramadhan?
Jawaban :
Wajib bagi kaum muslimin untuk memohon kepada Allah agar dia bisa sampai kebulan Ramadhan, dan diberi kemampuan untuk berpuasa serta melaksanakan shalat tarawih padanya, dan juga bisa beramal saleh pada bulan Ramadhan. Dikarenakan bulan tersebut merupakan kesempatan besar dikehidupan seorang muslim.
“Barang siapa yang berpuasa pada bulan Ramadhan dikarenakan keimanan dan mengharap pahala, maka akan diampuni dosanya yang terdahulu ” (H.R al-Bukhari)
” Barang siapa yang shalat malam pada bulan Ramadhan dikarenakan keimanan dan mengharap pahala,  maka akan diampuni dosanya yang terdahulu. “(H.R al-Bukhari)
Maka ini merupakan kesempatan besar bagi setiap muslim -untuk beramal- yang mungkin saja dia tidak bisa mendapatkan kesempatan kedua setelahnya.
Maka seorang muslim hendaknya bergembira dan merasa senang dengan datangnya bulan Ramadhan, menyambutnya dengan penuh kegembiraan, menggunakan kesempatan pada bulan tersebut untuk memperbanyak ketaatan. Shalat dimalam hari dan pada siang harinya berpuasa, membaca Al-qur’an dan berdzikir, yang mana ini semua merupakan ghanimah bagi setiap muslim.
Adapun orang-orang yang menyambut bulan Ramadhan dengan mempersiapkan berbagai kegiatan-kegiatan yang negatif, seperti acara musik, acara drama yang bersambung, acara -acara lawakan atau perlombaan kuis, yang semua ini melalaikan kaum muslimin -dari ibadah-, maka mereka ini adalah bala tentara Syaithan.
Maka wajib bagi setiap muslim untuk berhati-hati dari mereka, dan mentahzir mereka.
Bulan Ramadhan bukanlah waktu untuk bermain-main atau perkara sia-sia seperti kuis-kuis dan semisalnya yang semua ini menyia-nyiakan waktu
—————————————-
نصيحة بمناسبة قرب شهر رمضان.
السؤال:
ما نصيحتكم للمسلمين بمناسبة اقتراب شهر رمضان؟
الجواب: الواجب على المسلم يسأل الله أن يبلغه رمضان وأن يعينه على صيامه وقيامه، والعمل فيه، لأنه فرصة في حياة المسلم: ” مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ”، “مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ”، فهو فرصة في حياة المسلم قد لا يعود عليه مرة ثانية.
فالمسلم يفرح بقدوم رمضان ويستبشر به، ويستقبله بالفرح والسرور، ويستغله في طاعة الله ليله قيام، ونهاره صيام وتلاوة للقرآن والذكر فهو مغنم للمسلم، أما الذين إذا أقبل رمضان يعدون البرامج الفاسدة والملهية والمسلسلات والخزعبلات والمسابقات ليشغلوا المسلمين فهؤلاء جند الشيطان، الشيطان جندهم لهذا، فعلى المسلم أن يحذر من هؤلاء ويحذر منهم، رمضان ما هو وقت لهو ولعب ومسلسلات وجوائز ومسابقات وضياع للوقت.
http://alfawzan.af.org.sa/node/14849
- See more at: http://www.almanshurohcilacap.com/artikel/nasehat-menyambut-datangnya-bulan-ramadhan/#sthash.0MCHMkyI.dpuf

SEKILAS PANDANG PONPES UTSMAN BIN AFFAN RAWAJAYA-CILACAP

PENGURUS PONPES DAN GALLERY PONPES UTSMAN BIN AFFAN

RAWAJAYA - CILACAP

 

A. PENGURUS PONPES UTSMAN BIN AFFAN RAWAJAYA-CILACAP

    1. Pembina  : Al Ustadz Muhammad Na'im, Lc hafidzahullah
                         Al Ustadz Sofyan Chalid Ruray hafidzahullah

    2. Mudir      : Al ustadz Abu Zulfa Abbas hafidzahullah

    3. Penanggung Jawab MI : Al Ustadz Abu Bakar hafidzahullah
   
    4. Pengajar dan Staff :
        - Abu Sulaiman
        - Abu Abdillah Hafidz
        - Abu Abdirrohman Abdul Majid


B. GALLERY PONPES UTSMAN BIN AFFAN

Foto Masjid Jami' At-Taqwa Ponpes Utsman bin Affan
Rawajaya-Cilacap

Bagian dalam Masjid































Jumat, 19 Juni 2015

LAUNCHING RADIO SYIAR ISLAM 107,5 FM [ PONPES UTSMAN BIN AFFAN]

Bismillahirrahmaanirrahiiim


Alhamdulillah dengan izin Allah dan nikmatNya, mulai hari ini Jum'at, 2 Ramadhan 1436 / 19 Juni 2015 telah dirilis dan dilaunching streaming radio dakwah ahlussunnah Radio Syiar Islam107,5 FM atau dapat diakses melalui winamp/aplikasi lainnya di alamat http://103.28.148.18:8182, yang dipancarluaskan dari Ponpes Utsman bin Affan Rawajaya Bantarsari Cilacap.

Semoga dengan kehadiran radio kami di dunia maya, semakin menambah tersebarnya dakwah ahlussunnah wal jama'ah yang penuh barokah ini.

Harapan kami, kaum muslimin dan masyarakat luas dapat lebih mudah menikmati sajian murottal dan dakwah ahlussunnah.

Dukungan berupa moriil maupun materiil dari para pendengar sangat kami nantikan demi kelancaran dakwah radio ini. Semoga ke depan, kami dapat menyajikan lebih baik.

Salurkan donasi dakwah anda di rekening berikut :

BRI  1023270974 an. TEGUH WALUYO

lalu sms konfirmasi via SMS dengan format : donasidakwah#nama#kota
contoh : donasidakwah#Luqman#Jakarta
lalu kirim ke 085647710225

Jazakumullahu khaira

Kamis, 18 Juni 2015

YUK... IKUT PESANTREN KILAT RAMADHAN 1436 H DI PONPES UTSMAN BIN AFFAN

Marhaban yaa Ramadhan...
Untuk menambah ilmu agama kita, yuk.. ikut pesantren kilat ramadhan di Ponpes Utsman bin Affan...











Rabu, 17 Juni 2015

Tuntunan Ringkas Seputar Hukum-Hukum Puasa Ramadhan

بسم الله الرحمن الرحيم


Muqaddimah
Definisi Puasa.
Secara bahasa bermakna menahan.
Sementara menurut syariat, Imam Al-Qurthubi -rahimahullah- berkata, “Dia (puasa) adalah perbuatan menahan diri dari semua pembatal puasa disertai dengan niat (ibadah), sejak dari terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari.” (Tafsir Al-Qurthubi pada ayat 183 dari surah Al-Baqarah)
Imam An-Nawawi berkata -memberikan definisi puasa- dalam Al-Majmu’ (6/247), “Penahanan yang bersifat khusus, dari sesuatu yang tertentu, yang dikerjakan pada waktu tertentu, dan dilakukan oleh orang tertentu.”
Ucapan beliau, “dari sesuatu yang tertentu,” yakni seorang yang berpuasa tidaklah menahan diri dari segala sesuatu akan tetapi terbatas pada apa yang bisa membatalkan puasanya. “Pada waktu tertentu,” yakni hanya pada siang hari dan pada hari-hari yang disyariatkan berpuasa di situ. “Oleh orang tertentu,” yakni hanya bagi mereka yang telah mumayyiz dan sanggup untuk berpuasa.
Pembagian Puasa.
Puasa dalam syariat Islam terbagi menjadi dua:
1.Puasa sunnah.
2.Puasa wajib, dan dia ada tiga jenis:
·Yang wajib karena waktu. Ini adalah puasa ramadhan, dan puasa ini yang akan kita bahas hukum-hukumnya.
·Yang wajib karena adanya sebab, dan dia adalah puasa dalam membayar kaffarat.
·Yang wajib karena seseorang mewajibkannya atas dirinya, yaitu puasa nazar.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiah berkata dalam Kitab Ash-Shiyam dari Syarah Al-Umdah (1/26), “Puasa itu ada lima jenis: Puasa yang wajib dengan syara’ yaitu puasa bulan ramadhan baik yang ada`an maupun qadha`, puasa wajib dalam kaffarah, yang wajib karena nazar, dan puasa sunnah.” Lihat juga Shahih Fiqhus Sunnah (2/88)
Hukum Puasa Ramadhan.
Puasa ramadhan hukumnya adalah wajib atas setiap muslim yang balig, berakal, sehat dan muqim (bukan musafir). Dia merupakan salah satu dari rukun Islam, yang kewajibannya ditunjukkan oleh Al-Qur`an, As-Sunnah, dan ijma’ umat ini.
Allah Ta’ala berfirman, Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang bisa menjalankannya (tapi mereka tidak berpuasa) untuk membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.(QS. Al-Baqarah: 183-185)
Nabi -Shallallahu alaihi wasallam- bersabda, “Islam dibangun di atas lima perkara: Syahadat ‘laa ilaha illallah’ dan bahwa Muhammad adalah Rasulullah, menegakkan shalat, menunaikan zakat, haji, dan berpuasa ramadhan.” (HR. Al-Bukhari no. 8 dan Muslim no. 16 dari Ibnu Umar)
Umat Islam telah bersepakat bahwa puasa ramadhan adalah wajib. Barang siapa yang mengingkari kewajibannya maka dia kafir keluar dari Islam, dan barangsiapa yang meninggalkannya dengan sengaja tapi tetap meyakini wajibnya maka dia tidak kafir, akan tetapi dia telah bergelimang dengan dosa besar, wal’iyadzu billah.
Faidah:
Al-Mardawi dalam Al-Inshaf (3/269) menukil kesepakatan ulama bahwa puasa ramadhan diwajibkan pada tahun kedua hijriah.
Keutamaan Puasa Ramadhan
Di antara dalil-dalil keutamaannya adalah:
1.Dari Abu Hurairah secara marfu’ dalam hadits Qudsi:
كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ إِلاَّ الصِّيَامَ, فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ. الصِّيَامُ جُنَّةٌ
“Semua amalan anak Adam adalah untuknya kecuali puasa, karena dia itu untuk-Ku dan Aku sendiri yang akan membalasnya. Puasa adalah perisai.” (HR. Al-Bukhari no. 1904 dan Muslim no. 1151)
2.Juga dari Abu Hurairah, Nabi -Shallallahu alaihi wasallam- bersabda:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa yang berpuasa ramadhan karena iman dan mengharapkan pahala maka akan diampuni seluruh dosanya yang telah berlalu.” (HR. Al-Bukhari no. 1900 dan Muslim no. 760)
3.Dari Abu Said Al-Khudri secara marfu’:
مَا مِنْ عَبْدٍ يَصُوْمُ يَوْمًا فِي سَبِيْلِ اللهِ إِلاَّ بَاعَدَ اللهُ بِهَذاَ الْيَوْمِ وَجْهَهُ عَنِ النَّارِ سَبْعِيْنَ خَرِيْفًا
“Tidaklah seorang hamba berpuasa sehari di jalan Allah kecuali karenanya Allah akan menjauhkan wajahnya dari neraka sejauh 70 tahun perjalanan.” (HR. Al-Bukhari no. 2840 dan Muslim no. 1153)
4.Dari Abu Hurairah secara marfu’:
“Jika bulan ramadhan telah tiba, pintu-pintu langit -dalam sebagian riwayat: Pintu-pintu surga­- dan pintu-pintu jahannam ditutup dan setan-setan dibelenggu.” (HR. Al-Bukhari no. 1899 dan Muslim no. 1079)
5.Masih dari Abu Hurairah secara marfu’:
الصَّلَوَاتُ الْخَمْسَةُ, وَالْجُمُعَةُ إِلَى الْجُمُعَةِ, وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ, مُكَفِّرَاتٌ لِمَا بَيْنَهُنَّ إِذَا اجْتُنِبَتِ الْكَبَائِرُ
“Shalat yang lima waktu, shalat jumat satu ke shalat jumat selanjutnya, dari satu ramadhan ke ramadhan berikutnya, semuanya adalah penghapus dosa-dosa yang ada di antara keduanya, jika dosa-dosa besar dijauhi.” (HR. Muslim no.233)
[Shahih Fiqhus Sunnah hal. 87-90]

Sumber :
 

Blogger news

Blogroll

About