BTemplates.com

Pages

Kamis, 16 Juli 2015

AUDIO MP3 KHUTBAH IDUL FITRI 1436 H_ Memaknai Hakikat Syukur_Ustadz Abbas Abu Zulfa hafidzahullah



Bismillahirrahmaanirrahiim

Alhamdulillah telah terlaksana sholat Idul fitri di Ponpes Utsman bin Affan Rawajaya Cilacap pada hari Jumat, 1 Syawwal 1436 /  18 Juli 2015 bersama kaum muslimin dan muslimat masyarakat warga sekitar.

dengan Imam dan Khatib : Al Ustadz Abbas Abu Zulfa Hafidzahullah

Berikut kami sertakan file audio mp3 khutbah idul fitri 1436 H

Selamat mendengarkan....

Silahkan Download : di sini (lalu klik kanan ===>>> save as

Senin, 13 Juli 2015

UCAPAN TERIMA KASIH KEPADA MUHSININ/DONATUR PROGRAM IFTHAR JAMA'I



Bismillahirrahmaanirrahiim

Alhamdulillah telah terselenggara program Ifthar jama'i di Ponpes Utsman bin affan dan beberapa masjid di sekitar lingkungan ma'had dan di beberapa tempat para muallaf.

Kami mengucapkan Jazakumullahukhaira kepada segenap muhsinin/donatur yang telah bersedia mendonasikan dananya melalui kami. Semoga Allah ta'ala memberkahi harta muhsinin sekalian, memberkahi umur dan menjaga kesehatan para muhsinin dan segenap keluarga serta senantiasa dalam aktifitas yang diridhoi Allah ta'ala.

Tak lupa kami ucapkan jazakumullahu khaira kepada Al Ustadz Sofyan Chalid Ruray dan Al Ustadz Arif Mufid hafidzahumallah yang telah berkenan mencarikan donatur dan menyalurkannya melalui kami, semoga Allah menjaga beliau berdua.

Harapan kami, kegiatan seperti ini semoga dapat terus berlanjut untuk tahun-tahun berikutnya agar dapat memberikan manfaat bagi kaum muslimin dan berdampak positif dalam berkembangnya dakwah ahlussunnah waljama'ah khususnya di sekitar Rawajaya Cilacap.

Kepada semua pihak yang telah membantu, kami ucapkan jazakumullahu khaira.

Dan berikut kami lampirkan sebagian foto-foto kegiatan ifthar jama'i di sekitar Rawajaya Cilacap :











BANTUAN MUKENA, SARUNG DAN ZAKAT MAL UNTUK MUALLAF



Bismillahirrahmaanirrahiim

Alhamdulillah dengan izin Allah ta'ala pada bulan Ramadhan ini (1436), kami dapat kembali menyalurkan bantuan dari para muhsinin/aghniya untuk para muallaf binaan ma'had Utsman bin Affan berupa Mukena, Sarung dan Zakat Mal.

Semoga yang sedikit ini dapat bermanfaat bagi mereka, untuk membantu mereka bersemangat dan istiqomah dalam beribadah kepada Allah ta'ala sekaligus untuk membesarkan hati mereka, bahwa saudara muslim lainnya memberikan perhatian kepada mereka para muallaf.

Dan tak lupa kami ucapkan jazakumullahu khaira kepada para muhsinin/aghniya yang telah memberikan perhatian kepada para muallaf dan juga kepada fuqoro dan masakin. Semoga Allah ta'ala memberkahi harta para muhsinin sekalian, memberkahi umurnya dan menjaga mereka, serta keluarga mereka. aamiin




Khutbah Idul Fitri: Urgensi Tauhid dan Bahaya Syirik



Edited by Hafidz Abu Abdillah

[Khutbah Pertama]
اِنَّ الْحَمْد لله نَحْمَدُهُ وًنَسْتَعِنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ ، وَنَعُوْذُباللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَلِنَا ، مَنْ يَهْدِهِ ﷲُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِىَ لَهُ ، أَشْهَدُ اَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ ﷲُ وَحدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَ أَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُه
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا ﷲ حَقَّ تُقَاتِه وَلا تَمُوتُنَّ إِلا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ ( ال عمران : ١۰٢)
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا ﷲَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأرْحَامَ إِنَّ ﷲَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا (النساء : ١)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوﷲَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا . يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ ﷲَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا ( الاحزاب : ٧۰ – ٧١)

أَمَّا بَعْدُ :
فَاِنَّ خَيْرَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ ﷲ وَخَيْرَ الهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صَلَّى ﷲُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَشَرَّ الأمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلَّ مُحْدَثَتٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَ لَةً وَكُلَّ ضَلاَ لَةٍ في النّارِ.

 Allahu Akbar…Allahu Akbar… Allahu Akbar… Allahu akbar walillahil hamd
Jama’ah shalat ‘Idul-Fithri yang berbahagia,

Pertama-tama, kami berwasiat kepada diri sendiri, kemudian kepada para jama’ah, hendaklah kita tetap bertakwa kepada Allah Ta’ala dan bersyukur kepada-Nya atas nikmat yang telah dianugerahkan kepada kita. Allah Ta’ala telah menganugerahkan kepada kita dîn (agama) yang mulia ini, yaitu al-Islam. Allah telah menyempurnakan dan ridha Islam menjadi agama kita, dan sungguh, Allah Ta’ala telah menyempurnakan nikmat-Nya kepada kita.

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ اْلإِسْلاَمَ دِينًا

Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agamamu. (Qs al-Mâidah/5:3).

Pada hari yang berbahagia ini, kaum Muslimin di seluruh pelosok dunia, hingga pojok-pojok kota-kota, bahkan sampai ke pelosok desa dan gunung-gunung, semua membesarkan asma Allah Ta’ala, mengumandangkan takbir, tahlil dan tahmid. Kita dengar, lantunan kalimat ini menggetarkan angkasa dan merasuk ke dalam hati kita. Subhanallah, kaum Muslimin seluruhnya melantunkan syukur atas kenikmatan yang dianugerahkan Allah Ta’ala, setelah sebelumnya melaksanakan ibadah di bulan yang dimuliakan, yaitu ibadah puasa  di bulan Ramadhan. Kemenangan ini, insya Allah kita raih, yang tidak lain dengan meningkatkan takwa dan amal shalih. Dan jadilah diri kita sebagai insan yang benar dalam keimanan. Maka, hendaklah kita juga bersyukur, karena Allah Ta’ala telah memberikan hidayah kepada kita berupa akidah yang benar, sementara itu masih banyak orang yang tidak mendapatkannya.

Ketahuilah! Akidah kita merupakan akidah yang paling kuat, amalan kita merupakan amalan yan paling sempurna, dan tujuan hidup kita merupakan tujuan yang paling mulia. Akidah kita, yaitu beriman kepada Allah Ta’ala, kepada para malaikat-Nya, kepada kitab-kitab-Nya, kepada para rasul-Nya, kepada hari akhir dan beriman terhadap takdir Allah, takdir yang buruk maupun takdir baik.

Kita beriman kepada Allah Ta’ala, nama-nama-Nya dan sifat-sifat-Nya. Karena kita dapat menyaksikan tanda-tanda-Nya pada segala sesuatu yang menunjukkan bahwa Allah itu Ahad. Hanya satu.

Pada diri manusia terdapat tanda, di langit, di bumi, pada perputaran siang dan malam, pada tiupan angin, pada arak-arakan awan yang diterbangkan antara langit dan bumi, dan pada semua makhluk, sungguh terdapat tanda-tanda yang menunjukkan keesaan Allah Ta’ala, menunjukkan kemahakuasaan-Nya, rububiyah-Nya, keluasan ilmu, hikmah, dan menunjukkan kemahamurahan Allah Ta’ala. Karena alam raya ini tidak mungkin ada dengan sendirinya atau ada dengan tiba-tiba. Alam raya ini pasti ada yang menciptakan dan mengaturnya. Dia-lah Allah Rabbul-’Âlamin yang tidak sekutu bagi-Nya.
 Allahu Akbar…Allahu Akbar… Allahu Akbar…
Jama’ah solat idul fitri yang semoga dirahmati oleh Allah Subhanahu wa ta’ala,
Sesungguhnya sebesar-besar apa yang diperintahkan Allah adalah tauhid, yaitu ifrodullahi fil ibadah (mengesakan Allah dalam ibadah). Dan sebaliknya, hal terbesar yang dilarang oleh Allah adalah kesyirikan, yaitu menyebah kepada selain Allah bersamaan dengan menyembah Allah. Allah berfirman,
وَاعْبُدُواْ اللّهَ وَلاَ تُشْرِكُواْ بِهِ شَيْئاً
Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. (QS An Nisa’: 36)
Untuk itu pada kesempatan khutbah idul fitri yang mulia ini, kami ingin menyampaikan tentang urgensi (pentingnya) tauhid dan bahaya syirik.
 Allahu Akbar…Allahu Akbar… Allahu Akbar… Allahu akbar walillahil hamd
Jama’ah solat idul fitri Rahimakumullah,
Diantara pentingnya tauhid adalah:
Pertama, bahwasanya manusia diciptakan Allah untuk bertauhid, yaitu menyembah kepada Allah semata. Allah berfirman,
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
Dan tidaklah Aku (Alloh) tidak menciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka beribadat (semata-mata) kepada-Ku. (QS adz-Dzariyat: 56)
Kedua, Tauhid adalah inti dakwah Para Nabi dan Rasul
Para Nabi dan Rasul diutus kepada umatnya masing-masing dengan syariat yang berbeda-beda. Tetapi inti dakwah mereka sama yaitu tauhidullah (menjadikan ibadah hanya kepada Allah semata). Allah berfirman,
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَّسُولاً أَنِ اعْبُدُواْ اللّهَ وَاجْتَنِبُواْ الطَّاغُوتَ
Dan sungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu” (QS An Nahl: 36)
Allah juga berfirman,
وَمَا أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ
Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya: “Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku”. (QS Al Anbiyaa’: 25)
Ketiga, tauhid menyebabkan masuk surga, sedang syirik menjerumuskan kedalam neraka.
Allah berfirman,
إِنَّهُ مَن يُشْرِكْ بِاللّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللّهُ عَلَيهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنصَارٍ
“Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun.” (QS Al Ma’idah: 72)
Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya Allah mengharamkan atas neraka bagi seseorang yang mengucapkan la ilaha illallah karena mengharap wajah Allah” [HR Bukhari dan Muslim]
Diriwayatkan oleh imam Muslim dari sahabat Jabir radhiyallahu anhu, Rasulullah bersabda, “Barangsiapa menemui Allah dalam keadaan tidak mempersekutukanNya dengan sesuatu maka ia masuk surga. Barangsiapa menemui Allah dalam keadaan mempersekutukanNya dengan sesuatu maka masuk neraka”
Keempat, tauhid dalam menghapus dosa sedang syirik menghapus pahala/amalan
Disebutkan dalam sebuat hadits qudsi, Rasulullah bersabda, Allah ta’ala berfirman, “Wahai anak adam, seandainya kamu menemuiku dengan dosa sepenuh bumi lalu menemuiku dalam keadaan tidak mempersekutukanKu dengan sesuatu apapun maka Aku akan datang dengan ampunan sepenuh bumi (juga)” [HR Tirmidzi, hasan]
Allah berfirman,
وَلَوْ أَشْرَكُواْ لَحَبِطَ عَنْهُم مَّا كَانُواْ يَعْمَلُونَ
“Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan.” (QS Al An’am: 88)
 Allahu Akbar…Allahu Akbar… Allahu Akbar…
Jama’ah solat idul fitri yang berbahagia,
Demikianlah sebagian gambaran pentingnya tauhid dan bahaya syirik. Semoga kita dan kaum muslimin sekalian dijadikan sebagai orang yang bertauhid dan dijauhkan dari syirik.
Mari kita berupaya untuk menjaga tauhid yang kita miliki dan menjauhi segala bentuk kesyirikan. Jangan sampai kita terjerumus kedalam kesyirikan yang mana itu adalah dosa terbesar dan Allah tidak akan mengampuni dosa kesyirikan. Allah berfirman,
إِنَّ اللّهَ لاَ يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَن يَشَاءُ وَمَن يُشْرِكْ بِاللّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْماً عَظِيماً
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (QS An Nisa’: 48)

Diantara cara terpenting menjauhi kesyirikan adalah dengan mempelajari tauhid dan kesyirikan. Betapa banyak orang yang jatuh ke dalam kesyirikan karena ketidaktahuan. Selain itu hendaknya kita banyak berdoa dan menanamkan rasa takut dalam diri kita agar tidak terjatuh dalam kesyirikan.    Nabi Ibrahim takut terjatuh ke dalam kesyirikan padahal beliau adalah imamul muwahidin (imamnya orang-orang yang bertauhid) dan bapaknya para nabi. Beliau senantiasa berdo’a,
وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ اجْعَلْ هَـذَا الْبَلَدَ آمِناً وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَن نَّعْبُدَ الأَصْنَامَ
“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berkata: “Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini (Mekah), negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku daripada menyembah berhala-berhala”. (QS Ibrahim: 35)
Jama’ah shalat ‘Idul-Fithri yang berbahagia,

Sebelum mengakhiri khutbah ini, kami ingin memberikan nasihat kepada kaum wanita, sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memberikan nasihat kepada para wanita.
Hendaklah kaum wanita bertakwa kepada Allah Ta’ala pada urusan wanita itu sendiri. Hendaklah kaum wanita menjaga aturan-aturan Allah, memelihara hak-hak para suami dan anak-anaknya.
Ingatlah! Wanita shalihah itu, ialah wanita yang taat dan menjaga apa yang harus dijaganya saat suami tidak ada. Seorang wanita jangan silau dan terpedaya dengan perilaku sebagian wanita yang senang keluar rumah (misal ke pasar, atau ke tempat lainnya) dengan dandanan norak, bau semerbak menusuk hidung, pamer kecantikan, atau dengan mengenakan pakaian tipis transparan.
Ingatlah! Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا (وَذَكَرَ) وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مَائِلَاتٌ مُمِيلَاتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لَا يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلَا يَجِدْنَ رِيحَهَا
Ada dua kelompok penduduk neraka yang belum pernah aku lihat (lalu beliau n menyebutkan) wanita berpakaian tetapi telanjang, berjalan dengan lenggak-lenggok, kepala mereka bagaikan leher unta meliuk-liuk. Mereka tidak masuk surga dan tidak mendapatkan aroma surga. (H.R. Muslim).
Sehingga, jika seorang wanita terpaksa harus pergi ke pasar, maka berjalanlah dengan tenang, jangan berdesakan dengan kaum lelaki, jangan bersuara keras, dan jangan pula mengenakan pakaian yang dibenci pada anakmu, dan begitu pula jangan meniru pakaian kaum lelaki. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat perempuan yang meniru kaum laki-laki, dan juga kaum laki-laki yang meniru gaya kaum perempuan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan kaum wanita,
رَأَيْتُكُنَّ أَكْثَرَ أَهْلِ النَّارِ ِلأَنَّكُنَّ تُكْثِرْنَ اللَّعْنَ وَتَكْفُرْنَ الْعَشِيرَ
Aku melihat kebanyakan penghuni neraka itu adalah kalian. Kalian sering melaknat dan kufur terhadap suami. (H.R. al Bukhari Muslim).
Kiranya sekian yang dapat saya sampaikan pada kesempatan khutbah ini. Semoga kita dapat mengambil manfaat darinya. Allahu ta’ala a’lam bisshowab.


إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهاَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا.
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ.
اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ، وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدّعَوَاتِ.
رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلّاً لِّلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَؤُوفٌ رَّحِيمٌ
رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنفُسَنَا وَإِن لَّمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
وَصَلَّى اللَّهُ عَلَى نَبِيِّهِ مُحَمَّدٍ وَسَلَّمَ تَسْلِيمًا كَثِيرًا . وَآخِرُ دَعْوَانَا أَنِ اَلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ اَلْعَالَمِينَ

Selasa, 07 Juli 2015

Seputar Kaffarah


Yang menjadi dalil pokok pada pembahasan ini adalah hadits Abu Hurairah dia berkata:

جَاءَ رَجُلٌ إِلَى اَلنَّبِيِّ  فَقَالَ: هَلَكْتُ يَا رَسُولَ اَللَّهِ. قَالَ: ” وَمَا أَهْلَكَكَ ? ” قَالَ: وَقَعْتُ عَلَى اِمْرَأَتِي فِي رَمَضَانَ، فَقَالَ: ” هَلْ تَجِدُ مَا تَعْتِقُ رَقَبَةً? ” قَالَ: لَا. قَالَ: ” فَهَلْ تَسْتَطِيعُ أَنْ تَصُومَ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ? ” قَالَ: لَا. قَالَ: ” فَهَلْ تَجِدُ مَا تُطْعِمُ سِتِّينَ مِسْكِينًا? ” قَالَ: لَا, ثُمَّ جَلَسَ, فَأُتِي اَلنَّبِيُّ  بِعَرَقٍ فِيهِ تَمْرٌ. فَقَالَ: ” تَصَدَّقْ بِهَذَا “, فَقَالَ: أَعَلَى أَفْقَرَ مِنَّا? فَمَا بَيْنَ لَابَتَيْهَا أَهْلُ بَيْتٍ أَحْوَجُ إِلَيْهِ مِنَّا, فَضَحِكَ اَلنَّبِيُّ  حَتَّى بَدَتْ أَنْيَابُهُ، ثُمَّ قَالَ: “اذْهَبْ فَأَطْعِمْهُ أَهْلَكَ “
Ada seorang lelaki yang mendatangi Nabi   lalu berkata, “Saya telah binasa wahai Rasulullah,” beliau bertanya, “Apa yang membuat kamu binasa?” dia menjawab, “Saya melakukan jima’ dengan istriku dalam bulan ramadhan.” Maka beliau bersabda, “Apakah kamu bisa membebaskan seorang budak?” dia menjawab, “Tidak.” Beliau bertanya lagi, “Apakah kamu sanggup berpuasa dua bulan berturut-turut?” dia menjawab, “Tidak.” Beliau kembali bertanya, “Apakah kamu bisa memberi makan 60 orang miskin?” dia menjawab, “Tidak.” Kemudian orang itu duduk lalu Nabi   datang dengan membawa sekeranjang besar korma lalu bersabda, “Bersedekahlah dengan ini.” Dia menjawab, “Apakah kepada orang yang lebih miskin daripada kami? Tidak ada satu keluarga pun di antara dua dinding kampung itu yang lebih membutuhkan makanan ini daripada kami.” Maka Nabi   tertawa hingga nampak gigi taring beliau. Kemudian beliau bersabda, “Pergilah lalu beri makan keluargamu dengan ini.” (HR. Al-Bukhari no. 1936 dan Muslim no. 1111)
Berdasarkan hadits ini, mayoritas ulama berpendapat wajibnya kaffarah bagi orang yang melakukan jima’ dengan syarat-syarat yang akan kami sebutkan.
Sementara Ibnu  Sirin, An-Nakha’i, Asy-Sya’bi dan Said bin Jubair berpendapat bahwa dia tidak wajib membayar kaffarah. Karena puasa adalah ibadah yang kaffarah tidak wajib ketika seseorang merusak puasa qadha`nya, sehingga dengan itu kaffarah juga tidak wajib ketika seorang merusak puasanya secara ada`an.
Yang kuat tentunya pendapat mayoritas ulama, sementara kias pendapat kedua adalah kias yang rusak karena bertentangan dengan nash.
[Al-Mughni: 3/25 dan Al-Muhalla masalah no. 737]
Syarat-Syarat Wajibnya Kaffarah.
Dari hadits Abu Hurairah di atas, kita bisa melihat ada empat syarat wajibnya kaffarah atas seseorang:
1.    Melakukan jima’.
2.    Sedang berpuasa.
3.    Di siang hari ramadhan.
4.    Pelakunya adalah orang yang wajib atasnya berpuasa.
Dengan keempat syarat ini kita bisa menjawab banyak masalah berkenaan dengan kaffarah, sebagai contoh:
1.    Orang yang melakukan jima’ lalu dia belum membayar kaffarah sampai melakukan jima’ untuk kedua kalinya pada hari yang sama. Berapa kali dia membayar kaffarah?
Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni (3/32) dan Ibnu Abdil Barr dalam At-Tamhid (7/259) menukil ijma’ bahwa dia hanya membayar sekali. Hal itu karena dia melakukan jima’ yang kedua sudah tidak dalam keadaan puasa diakibatkan jima’ yang pertama sehingga syarat yang kedua tidak terpenuhi.
2.    Demikian pula kalau dia melakukan jima’ yang kedua dalam satu hari setelah dia membayar kaffarah sebelumnya. Yang rajih adalah mazhab mayoritas ulama yang menyatakan hanya satu kali. Ini yang dirajihkan oleh Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla masalah no. 771
3.    Orang yang melakukan jima’ pada puasa qadha` ramadhan. Ibnu Abdil Barra berkata dalam At-Tamhid (7/258), “Mereka bersepakat bahwa orang yang melakukan jima’ pada qadha` ramadhan dengan sengaja maka tidak ada kaffarah atasnya, kecuali Qatadah.” Ini yang dikuatkan oleh Ibnu Hazm dan Faqihuz Zaman Syaikh Ibnu Al-Utsaimin. Hal itu karena syarat ketiga tidak terpenuhi, yakni jima’nya bukan pada bulan ramadhan tapi di luar ramadhan.
4.    Jika dia berbuka dengan makan dan minum lalu melakukan jima’, apakah wajib atasnya kaffarah?
Ada khilaf, yang rajih adalah pendapat Asy-Syafi’i yang menyatakan tidak wajibnya, berbeda halnya dengan mayoritas ulama yang mewajibkan. Masalah ini kembalinya kapada masalah: Apakah sebab kaffarah adalah merusak puasa ataukah melanggar kehormatan ramadhan dengan jima’? Yang benar adalah karena sebab yang kedua, sebagaimana yang akan kami terangkan pada beberapa masalah setelah ini.
Jadi dalam kasus ini dia tidak membayar kaffarah karena syarat yang kedua tidak terpenuhi dengan jalan dia makan terlebih dahulu.
5.    Jika seseorang membawa istinya untuk melakukan safar di siang hari ramadhan, setelah tiba di tujuan mereka melakukan jima’. Maka mereka juga tidak wajib membayar kaffarah karena keduanya musafir sementara musafir tidak wajib berpuasa.
Hukum Tartib Dalam Pembayaran Kaffarah
Ada dua pendapat dalam masalah ini:
1.    Wajib tartib. Ini adalah pendapat yang masyhur dari Imam Ahmad, juga merupakan pendapat Ats-Tsauri, Al-Auzai, Asy-Syafi’i, dan mayoritas ulama.
Mereka berdalil dengan hadits Abu Hurairah di atas.
2.    Tidak wajib tartib, akan tetapi boleh memilih. Ini adalah salah satu riwayat dari Ahmad dan Malik.
Mereka berdalil dengan ucapan Abu Hurairah -dalam hadits yang sama-, “Maka Rasulullah   memerintahkannya untuk membebaskan budak atau berpuasa dua bulan berturut-turut atau memberi makan 60 orang miskin.”
Yang kuat adalah pendapat mayoritas ulama. Adapun dalil pendapat kedua, maka lafazh itu diriwayatkan oleh Malik, Ibnu Juraij, Fulaih bin Sulaiman dan Amr bin Utsman dari Az-Zuhri. Sementara Al-Hafizh berkata dalam Al-Fath no. 1936, “Bahkan yang meriwayatkan lafazh tartib ini dari Az-Zuhri ada 30 orang rawi atau lebih.”
Kalaupun dianggap haditsnya shahih, maka kata ‘aw’ (atau) di sini diarahkan kepada makna tartib guna mengompromikan kedua hadits. Ini adalah pendapat yang dikuatkan oleh An-Nawawi, Ash-Shan’ani dan selain keduanya.
[Al-Mughni: 3/29, Al-Majmu’: 6/333-334, dan Al-Istidzkar: 10/95-96]
Apakah Wanita Juga Membayar Kaffarah?
Dalam hal ini ada dua keadaan:
1.    Jika dia tidak dipaksa.
Ada dua pendapat di kalangan ulama dalam masalah ini:
a.    Dia juga wajib membayarnya.
Ini adalah pendapat Malik, Abu Hanifah, Abu Tsaur, Ibnul Mundzir, satu riwayat dari Ahmad dan dari Asy-Syafi’i, serta Al-Hafizh menisbatkannya kepada mayoritas ulama.
Mereka berdalil dengan salah satu lafazh pada sebagian jalan hadits Abu Hurairah, “Saya binasa dan membuat orang binasa.”
Akan tetapi Al-Baihaqi mengatakan bahwa Al-Hakim mempunyai tiga juz dalam menjelaskan batilnya lafazh ini, dan juz ini telah diringkas oleh Al-Hafizh dalam Al-Fath no. 1936
Mereka juga mengatakan: Wanita adalah saudara sekandung lelaki dalam hal hukum, sehingga penjelasan hukum kepada lelaki adalah juga penjelasan untuknya karena keduanya sama-sama melanggar.
b.    Tidak wajib atasnya membayar kaffarah.
Ini adalah pendapat Al-Hasan, Al-Auzai, riwayat yang lain dari Ahmad dan dari Asy-Syafi’i, dan ini yang shahih dalam mazhab Asy-Syafi’iyah, juga pendapat Daud, Azh-Zhahiriah dan Ibnu Hazm.
Mereka berdalil bahwa khithab (yang diajak bicara) dan dhamir (kata ganti) pada hadits tersebut semuanya adalah mudzakkar (untuk lelaki).
Mereka juga berdalil akan diamnya Nabi   dari menyebutkan wajibnya kaffarah atas wanita.
Tapi ini dibantah bahwa ini adalah qadhiyah hal. Yaitu bahwa diamnya Nabi   terhadap hukum wanita itu tidak menunjukkan hukum tersebut tidak berlaku baginya, karena ada kemungkinan istrinya tidak berpuasa karena adanya uzur. Kemungkinan lain dari diamnya beliau adalah karena beliau sudah mengetahui dari ucapan suaminya bahwa istrinya tidak punya kemampuan menolak.
Yang kuat adalah pendapat yang pertama, dan inilah yang dikuatkan oleh Syaikh Ibnu Al-Utsaimin -rahimahullah-.
2.    Jika dia dipaksa.
Maka dalam hal ini juga ada beberapa pendapat:
1.    Tidak ada kewajiban kaffarah atasnya, yang ada hanya qadha`. Ini adalah pendapat Ahmad, Al-Auzai, Ats-Tsauri, Al-Hasan, dan Ashhab Ar-Ra`yu. Diikutkan dengannya wanita yang digauli dalam keadaan dia tidur.
2.    Jika paksaannya dibarengi dengan ancaman, maka pendapat pertama sudah benar. Kalau dia digauli dalam keadaan tidur maka tidak batal puasanya.. Ini adalah pendapat Asy-Syafi’i, Abu Tsaur dan Ibnul Mundzir.
3.    Tidak ada kaffarah dan tidak pula qadha` -walaupun paksaannya dibarengi ancaman-, dan puasanya syah. Ini adalah salah satu sisi dalam mazhab Asy-Syafi’iyah, dibebarkan penisbatannya oleh An-Nawawi, Asy-Syirazi dalam A-Tanbih dan Ar-Rafi’i dalam Asy-Syarh.
Pendapat ketiga inilah yang dikuatkan oleh Syaikh Ibnu Al-Utsaimin -rahimahullah-.
[Al-Mughni: 3/27, Al-Majmu’: 6/325-336, Asy-Syarhul Mumti: 6/414-416, Al-Istidzkar: 10/108-109, dan Al-Muhalla: 4/327]
Apakah kaffarah juga diwajibkan atas orang yang membatalkan puasanya dengan makan dan minum?
Ini adalah pendapat Ahmad dalam satu riwayat, Malik dan pengikutnya, Ats-Tsauri, Abu Hanifah dan pengikutnya, Al-Auzai dan Ishaq. Mereka mengatakan yang menyamakan keduanya adalah sama-sama melanggar kehormatan ramadhan.
Sementara jumhur ulama berpendapat tidak. Ini adalah pendapat Said bin Jubair, Ibnu Sirin, Jabir bin Zaid, Asy-Sya’bi, dan Qatadah.
Inilah yang dirajihkan oleh Ibnu Taimiah dan dalam kitab Ash-Shiyam (1/272) beliau menyebutkan tiga alasan beliau menguatkan pendapat ini. Ini juga yang dikuatkan oleh Ibnu Hazm dan Al-Wadi’i -rahimahullah-.
Bagi Yang Tidak Sanggup, Apakah Kaffarah Tetap Wajib Atasnya?
Pendapat pertama: Itu gugur darinya.
Ini adalah mazhab Ahmad, Asy-Syafi’i dalam satu pendapat, Al-Auzai, dan Isa bin Dinar dari kalangan Al-Malikiah.
Mereka mengatakan karena Nabi  tidak memerintahkan orang dalam hadits Abu Hurairah itu untuk membayar kaffarah kalau dia sudah lapang. Ini yang dikuatkan oleh Ibnu Qudamah.
Pendapat kedua: Kaffarah tidak gugur.
Ini adalah salah satu riwayat dari Ahmad, pendapat yang lain dari Asy-Syafi’i, dan mayoritas ulama. Mereka mengatakan karena hukum asal dalam kaffarah adalah tidak gugur dengan ketidakmampuan, bahkan tetap wajib dalam tanggungannya.
Mereka mengatakan: Tatkala orang tersebut tidak mampu mengerjakan salah satu dari ketiga kaffarah, Nabi terdiam lalu pergi mengambilkannya makanan. Beliau tidak mengatakan misalnya, “Kalau begitu tidak ada kewajiban atasmu.” Jawaban senada diutarakan oleh Ibnu Taimiah dalam Syarh Kitab Ash-Shiyam (1/296) dan Ibnu Abdil Barr dalam Al-Istidzkar (10/105-107)
Apakah Dipersyaratkan Pada Budak Harus Seorang Muslim?
Yang kuat dalam masalah ini adalah pendapat mayoritas ulama yang mempersyaratkannya. Mereka membatasi budak dalam hadits dengan firman Allah Ta’ala pada kaffarah membunuh, “Maka membebaskan budak yang beriman.” (QS. An-Nisa`: 92) Mereka juga berdalil dengan hadits ‘jariyah (budak wanita)’ dalam riwayat Muslim tentang pertanyaan Nabi   kepada budak tersebut, “Dimana Allah?”. Tatkala dia menjawabnya dengan benar maka Nabi   bersabda, “Merdekakan dia karena sesungguhnya dia adalah mukminah.”
Sementara Al-Hanafiah, Ibnu Hazm, Atha`, An-Nakha’i, dan Ats-Tsauri tidak mempersyaratkannya.
Yang kuat adalah pendapat pertama karena pada kedua kasus ini sebab hukumnya sama yaitu kaffarah dari dosa, wallahu a’lam.
[Al-Muhalla no. 740, Takmilah Al-Majmu’: 17/368, As-Subul: 4/148, Al-Mughni: 8/17-18]
Jika Kaffarah Puasa Diputuskan Karena Uzur
Ada beberapa uzur yang disebutkan oleh para ulama:
1.    Uzur haid. Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni (8/21-22) menukil ijma’ bahwa dia tidak perlu mengulangi dari awal.
2.    Uzur nifas. Yang benarnya dia juga tidak memutuskan urutan. Ini adalah salah satu sisi dalam mashab Al-Hanabilah dan Asy-Syafi’iyah.
3.    Uzur sakit. Yang kuat bahwa itu tidak membatalkan urutan karena sakit bukan atas kemauannya seperti haid. Ini adalah pendapat Ibnu Abbas, Ibnul Musayyab, Al-Hasan, Atha`, Asy-Sya’bi, Thawus, Mujahid, Malik, Ishaq, Abu Ubaid, Abu Tsaur, Ibnul Mundzir, dan ucapan lama Asy-Syafi’i.
4.    Uzur safar. Jika safarnya tidak dalam keadaan darurat maka itu membatalkan urutan dan demikian pula sebaliknya. Ini adalah pendapat Malik, Ashhab Ar-Ra`yu, dan yang masyhur dalam mazhab Asy-Syafi’iyah.
5.    Uzur hamil dan menyusui. Jika dia berbukan karena mengkhawatirkan dirinya maka dihukumi sama dengan orang yang sakit. Jika dia mengkhawatirkan anaknya, maka ada dua sisi pendapat dalam mazhab Al-Hanabilah dan Asy-Syafi’iyah.
6.    Uzur gila dan pingsan. Ibnu Qudamah berkata dalam Al-Mughni (8/22), “Jika orang gila atau pingsan berbuka maka urutan puasanya tidak terputus, karena dia adalah uzur yang tidak bisa dia hindari, maka dia seperti wanita haid.”
Apakah Jumlah Orang Miskin Yang Diberi Makan Harus 60?
Pendapat mayoritas ulama menyatakan wajibnya hal itu, berbeda halnya dengan Abu Hanifah. Ini yang dikuatkan oleh Ibnu Hazm berdasarkan hadits.
Berapa Kadar Makanan Yang Diberikan?
Ada persilangan pendapat di kalangan ulama dalam hal ini. Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla no. 746 berkata, “Tidak boleh membatasi kadar makanan tertentu dan menyatakan itu syah sementara yang lainnya tidak, tanpa ada nash dan tidak pula ijma’. Mereka tidak berbeda pendapat kalau makanan yang disantapnya tidak mengenyangkan atau makanan yang diberikan (misalnya beras, pent.) kurang dari satu mud maka itu tidak syah.” Ini pendapat yang dikuatkan oleh Ibnu Taimiah.
Wallahu a’lam bishshawab

Sumber : http://al-atsariyyah.com/seputar-kaffarah.html

Seputar Fidyah


Tanya:
Seorang janda yang masih punya tanggungan membayar fidyah puasa Ramadhan tahun lalu, siapakah yang harus membayarkannya? Apakah dia sendiri atau walinya?
tasjilat_al_atsariyyah@yahoo.co.id |
Jawab:
Asalnya, yang harus membayar fidyah adalah dia sendiri karena itu adalah tanggung jawabnya. Akan tetapi kalau dia tidak mampu, maka dia boleh menunda pembayarannya sampai dia sanggup untuk membayarnya. Jika ada orang lain -baik dari pihak keluarganya maupun orang lain- yang membantunya untuk membayarkan fidyah tersebut, maka itu syah dan kewajibannya sudah gugur. Karena fidyah ini termasuk ibadah harta pelaksanaannya bisa digantikan oleh orang lain, sedangkan ibadah harta yang seperti ini boleh dibayarkan oleh orang lain -walaupun bukan keluarganya- berdasarkan pendapat imam empat. Wallahu a’lam

Sumber : http://al-atsariyyah.com/seputar-fidyah.html

Apakah Membayar Zakat Fitrah/Fithri dengan Uang Merupakan Satu Kebid’ahan dalam Agama ?


Tanya : Apakah membayar zakat fitrah dengan uang merupakan satu kebid’ahan dalam agama ?
Jawab : Para ulama berbeda pendapat dalam permasalahan ini. Jumhur ulama mengatakan tidak boleh mengeluarkan zakat fitrah (fithri) berupa uang. Inilah yang dipegang kuat oleh Maalikiyyah, Syaafi’iyyah, Hanabilah, dan Dhahiriyyah. Sedangkan ulama lain, seperti Al-Hasan Al-Bashriy, ‘Umar bin ‘Abdil-‘Aziiz, Ats-Tsauriy, Abu Haniifah, dan yang lainnya; berpandangan boleh mengeluarkan zakat fitrah (fithri) dengan uang.
Dalil Pokok Madzhab Pertama
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ السَّكَنِ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَهْضَمٍ حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ جَعْفَرٍ عَنْ عُمَرَ بْنِ نَافِعٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى الْعَبْدِ وَالْحُرِّ وَالذَّكَرِ وَالْأُنْثَى وَالصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ مِنْ الْمُسْلِمِينَ وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلَاةِ
Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Muhammad bin As-Sakan : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Jahdlam : Telah menceritakan kepada kami Ismaa’iil bin Ja’far, dari ‘Umar bin Naafi’, dari ayahnya, dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa, ia berkata : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah mewajibkan zakat fithri di bulan Ramadlan kepada manusia; satu shaa’ tamr (kurma) atau satu shaa’ gandum atas budak dan orang merdeka, laki-laki dan wanita dari kalangan umat muslimin. Dan beliau pun memerintahkan agar mengeluarkannya sebelum orang-orang keluar mengerjakan shalat (‘Ied)” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1503].
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ عَنْ عِيَاضِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ سَعْدِ بْنِ أَبِي سَرْحٍ الْعَامِرِيِّ أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا سَعِيدٍ الْخُدْرِيَّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ كُنَّا نُخْرِجُ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ طَعَامٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ أَقِطٍ أَوْ صَاعًا مِنْ زَبِيبٍ
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Yuusuf : Telah mengkhabarkan kepada kami Maalik, dari Zaid bin Aslam, dari ‘Iyadl bin ‘Abdllah bin Sa’d bin Abi Sarh Al-‘Aamiriy, bahwasannya ia mendengar Abu Sa’iid Al-Khudriy radliyallaahu ‘anhu berkata : “Dulu kami mengeluarkan zakat fithri (sebanyak) satu shaa’ makanan, atau satu shaa’ gandum, atau satu shaa’ tamr (kurma), atau satu shaa’ keju, atau satu shaa’ anggur kering (kismis)” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1506].
حَدَّثَنَا مَحْمُودُ بْنُ خَالِدٍ الدِّمَشْقِيُّ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ السَّمْرَقَنْدِيُّ قَالَا حَدَّثَنَا مَرْوَانُ قَالَ عَبْدُ اللَّهِ حَدَّثَنَا أَبُو يَزِيدَ الْخَوْلَانِيُّ وَكَانَ شَيْخَ صِدْقٍ وَكَانَ ابْنُ وَهْبٍ يَرْوِي عَنْهُ حَدَّثَنَا سَيَّارُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ قَالَ مَحْمُودٌ الصَّدَفِيُّ عَنْ عِكْرِمَةَ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنْ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلَاةِ فَهِيَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلَاةِ فَهِيَ صَدَقَةٌ مِنْ الصَّدَقَاتِ
Telah menceritakan kepada kami Mahmuud bin Khaalid Ad-Dimasyqiy[1] dan ‘Abdullah bin ‘Abdirrahmaan As-Samarqandiy[2], mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami Marwaan[3]- ‘Abdullah berkata : Telah menceritakan kepada kami Abu Yaziid Al-Khaulaaniy[4], ia seorang syaikh yang jujur, dan Ibnu Wahb meriwayatkan darinya : Telah menceritakan kepada kami Sayyaar bin ‘Abdirrahmaan[5]- : Mahmuud berkata : Ash-Shadafiy, dari ‘Ikrimah[6], dari Ibnu ‘Abbaas, ia berkata : “Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam telah mewajibkan zakat fithri sebagai pembersih bagi orang yang berpuasa dari kesia-siaan dan perkataan yang tidak senonoh, dan sebagai makanan bagi orang-orang miskin” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 1506; hasan].
Sisi pendalilannya : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fithri bagi kaum muslimin dengan menyebut jenisnya. Jenis-jenis yang disebutkan oleh beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tersebut merupakan jenis-jenis makanan pokok. Semua jenis makanan pokok bagi satu penduduk negeri dapat diqiyaskan dengan hal-hal tersebut (misalnya : beras). Suatu kewajiban jika telah ditentukan jenisnya, maka tidak boleh diganti dengan selainnya. Apalagi dalam riwayat Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa telah disebutkan salah satu tujuan pengeluaran zakat fithri tersebut adalah sebagai makanan bagi orang-orang miskin. Tidaklah tercapai tujuan tersebut kecuali dengan penunaian berupa bahan makanan pokok.
Pendalilan lain yang dipakai adalah bahwa di jaman Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam uang (berupa dinar dan dirham) telah tersebar dan dipakai, namun beliau tidak pernah memerintahkan mengeluarkan zakat berupa uang dan tetap menyebutkan beberapa makanan pokok yang tertera dalam hadits di atas.
Dalil Pokok Madzhab Kedua
Allah ta’ala berfirman :
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka” [QS. At-Taubah : 103].
Ayat ini sebagai dalil bahwa asal dari kewajiban zakat yang diambil adalah (pada) harta/maal. Dan asal dari harta adalah apa-apa yang dimiliki berupa emas dan perak.
Penjelasan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang zakat fithri dengan gandum dan kurma hanyalah untuk sekedar memudahkan dalam memenuhi kebutuhan, dan bukan membatasi jenisnya.
حَدَّثَنَا أَبُو الْيَمَانِ أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ حَدَّثَنَا أَبُو الزِّنَادِ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ أَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالصَّدَقَةِ فَقِيلَ مَنَعَ ابْنُ جَمِيلٍ وَخَالِدُ بْنُ الْوَلِيدِ وَعَبَّاسُ بْنُ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا يَنْقِمُ ابْنُ جَمِيلٍ إِلَّا أَنَّهُ كَانَ فَقِيرًا فَأَغْنَاهُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَأَمَّا خَالِدٌ فَإِنَّكُمْ تَظْلِمُونَ خَالِدًا قَدْ احْتَبَسَ أَدْرَاعَهُ وَأَعْتُدَهُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَأَمَّا الْعَبَّاسُ بْنُ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَعَمُّ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَهِيَ عَلَيْهِ صَدَقَةٌ وَمِثْلُهَا مَعَهَا
Telah menceritakan kepada kami Abul-Yamaan : Telah mengkhabarkan kepada kami Syu’aib : Telah menceritakan kepada kami Abuz-Zinaad, dari Al-A’raj, dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk menunaikan shadaqah (zakat). Lalu dikatakan kepada beliau bahwa Ibnu Jamiil, Khaalid bin Al-Waliid, dan ‘Abbaas bin ‘Abdil-Muthallib tidak mau mengeluarkan zakat. Maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Mengapa Ibnu Jamiil tidak mau mengeluarkan zakatnya sebab dahulunya dia faqir namun kemudian Allah dan Rasul-Nya menjadikannya kaya? Adapun Khaalid, sungguh kalian telah mendhalimi Khaalid, karena dia telah mewaqafkan baju-baju besi dan peralatan perangnya untuk berjuang di jalan Allah. Adapun ‘Abbaas bin ‘Abdul Muthallib dia adalah paman Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, namun demikian dia tetap wajib berzakat dan yang semisalnya selain itu” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1468].
Sisi pendalilannya adalah bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah membolehkan bagi Khaalid untuk membuat perhitungan bagi dirinya yang senilai dengan zakat yang diwajibkan kepadanya.
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ حَدَّثَنِي أَبِي قَالَ حَدَّثَنِي ثُمَامَةُ أَنَّ أَنَسًا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ حَدَّثَهُ أَنَّ أَبَا بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ كَتَبَ لَهُ فَرِيضَةَ الصَّدَقَةِ الَّتِي أَمَرَ اللَّهُ رَسُولَهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ بَلَغَتْ عِنْدَهُ مِنْ الْإِبِلِ صَدَقَةُ الْجَذَعَةِ وَلَيْسَتْ عِنْدَهُ جَذَعَةٌ وَعِنْدَهُ حِقَّةٌ فَإِنَّهَا تُقْبَلُ مِنْهُ الْحِقَّةُ وَيَجْعَلُ مَعَهَا شَاتَيْنِ إِنْ اسْتَيْسَرَتَا لَهُ أَوْ عِشْرِينَ دِرْهَمًا وَمَنْ بَلَغَتْ عِنْدَهُ صَدَقَةُ الْحِقَّةِ وَلَيْسَتْ عِنْدَهُ الْحِقَّةُ وَعِنْدَهُ الْجَذَعَةُ فَإِنَّهَا تُقْبَلُ مِنْهُ الْجَذَعَةُ وَيُعْطِيهِ الْمُصَدِّقُ عِشْرِينَ دِرْهَمًا أَوْ شَاتَيْنِ وَمَنْ بَلَغَتْ عِنْدَهُ صَدَقَةُ الْحِقَّةِ وَلَيْسَتْ عِنْدَهُ إِلَّا بِنْتُ لَبُونٍ فَإِنَّهَا تُقْبَلُ مِنْهُ بِنْتُ لَبُونٍ وَيُعْطِي شَاتَيْنِ أَوْ عِشْرِينَ دِرْهَمًا وَمَنْ بَلَغَتْ صَدَقَتُهُ بِنْتَ لَبُونٍ وَعِنْدَهُ حِقَّةٌ فَإِنَّهَا تُقْبَلُ مِنْهُ الْحِقَّةُ وَيُعْطِيهِ الْمُصَدِّقُ عِشْرِينَ دِرْهَمًا أَوْ شَاتَيْنِ وَمَنْ بَلَغَتْ صَدَقَتُهُ بِنْتَ لَبُونٍ وَلَيْسَتْ عِنْدَهُ وَعِنْدَهُ بِنْتُ مَخَاضٍ فَإِنَّهَا تُقْبَلُ مِنْهُ بِنْتُ مَخَاضٍ وَيُعْطِي مَعَهَا عِشْرِينَ دِرْهَمًا أَوْ شَاتَيْنِ
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Abdillah, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku ayahku, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku Tsumaamah : Bahwasannya Anas radliyallaahu ‘anhu telah menceritakan kepadanya : Bahwa Abu Bakr radliyallaahu ‘anhu pernah menulis surat kepadanya (tentang aturan zakat) sebagaimana apa yang telah diperintahkan Allah dan Rasul-Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam, yaitu : “Barangsiapa yang memiliki onta dan terkena kewajiban zakat jadza’ah sedangkan dia tidak memiliki jadza’ah dan yang dia miliki hanya hiqqah; maka dibolehkan dia mengeluarkan hiqqah sebagai zakat, namun dia harus menyerahkan pula bersamanya dua ekor kambing atau dua puluh dirham. Dan barangsiapa yang telah sampai kepadanya kewajiban zakat hiqqah sedangkan dia tidak memiliki hiqqah namun dia memiliki jadza’ah; maka diterima zakat darinya berupa jadza’ah dan dia menerima (diberi) dua puluh dirham atau dua ekor kambing. Dan barangsiapa telah sampai kepadanya kewajiban zakat hiqqah namun dia tidak memilikinya kecuali bintu labun; maka diterima zakat darinya berupa bintu labun, namun dia wajib menyerahkan bersamanya dua ekor kambing atau dua puluh dirham. Dan barangsiapa telah sampai kepadanya kewajiban zakat bintu labun dan dia hanya memiliki hiqqah; maka diterima zakat darinya berupa hiqqah dan dia menerima dua puluh dirham atau dua ekor kambing. Dan barangsiapa yang telah sampai kepadanya kewajiban zakat bintu labun sedangkan dia tidak memilikinya kecuali bintu makhadl; maka diterima zakat darinya berupa bintu makhadl, namun dia wajib menyerahkan bersamanya dua puluh dirham atau dua ekor kambing” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1453].
Hadits di atas menunjukkan diperbolehkannya membayar zakat yang diwajibkan dengan sesuatu yang senilai dengannya. Qiyasnya, hal itu berlaku pula pada kewajiban zakat fithri.
حَدَّثَنَا أَبُو النُّعْمَانِ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ حَدَّثَنَا أَيُّوبُ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ فَرَضَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَدَقَةَ الْفِطْرِ أَوْ قَالَ رَمَضَانَ عَلَى الذَّكَرِ وَالْأُنْثَى وَالْحُرِّ وَالْمَمْلُوكِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ فَعَدَلَ النَّاسُ بِهِ نِصْفَ صَاعٍ مِنْ بُرٍّ
Telah menceritakan kepada kami Abun-Nu’maan : Telah menceritakan kepada kami Ayyuub, dari Naafi’, dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa, ia berkata : “Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fithri, atau zakat Ramadlaan bagi setiap laki-laki maupun wanita, orang merdeka maupun budak; berupa satu shaa’ kurma atau satu shaa’ gandum”. Kemudian orang-orang menyamakannya dengan setengah shaa’ burr [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1511].
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ وَسُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ الْعَتَكِيُّ قَالَا حَدَّثَنَا حَمَّادٌ عَنْ أَيُّوبَ عَنْ نَافِعٍ قَالَ قَالَ عَبْدُ اللَّهِ فَعَدَلَ النَّاسُ بَعْدُ نِصْفَ صَاعٍ مِنْ بُرٍّ قَالَ وَكَانَ عَبْدُ اللَّهِ يُعْطِي التَّمْرَ فَأُعْوِزَ أَهْلُ الْمَدِينَةِ التَّمْرَ عَامًا فَأَعْطَى الشَّعِيرَ
Telah menceritakan kepada kami Musaddad[7] dan Sulaimaan bin Daawud Al-‘Atakiy[8], mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami Hammaad[9], dari Ayyuub[10], dari Naafi’[11], ia berkata : Telah berkata ‘Abdullah (bin ‘Umar) : “Orang-orang menyamakan setelah itu dengan setengah shaa’ burr”. Naafi’ berkata : “’Abdullah memberikan kurma. Lalu penduduk Madinah pun kesulitan untuk mendapatkan kurma, lalu ia (‘Abdullah) memberikan gandum” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 1615; shahih].
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا لَيْثٌ ح و حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ رُمْحٍ أَخْبَرَنَا اللَّيْثُ عَنْ نَافِعٍ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ قَالَ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ بِزَكَاةِ الْفِطْرِ صَاعٍ مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعٍ مِنْ شَعِيرٍ قَالَ ابْنُ عُمَرَ فَجَعَلَ النَّاسُ عَدْلَهُ مُدَّيْنِ مِنْ حِنْطَةٍ
Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa’iid : Telah menceritakan kepada kami Laits. Dan telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Rumh : Telah mengkhabarkan kepada kami Al-Laits, dari Naafi’ : Bahwasannya ‘Abdullah bin ‘Umar berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan mengeluarkan zakat fithri satu shaa’ kurma atau satu shaa’ gandum”. Ibnu ‘Umar berkata : “Orang-orang menyamakannya dengan dua mudd hinthah (sejenis gandum)” [Diriwayatkan Muslim no. 984].
Sisi pendalilannya adalah : Para shahabat telah mengkonversikan satu shaa’ kurma dan gandum dengan setengah shaa’ burr (gandum berkualitas bagus) atau dua mudd hinthah. Ini sebagai dalil bolehnya membayarkan zakat fithri berdasarkan kesetaraan nilai.
[Jika ada yang mengatakan bahwa tidak ada pendalilan padanya, karena dua riwayat di atas tetap menyebutkan bahan makanan; maka ini tidak bisa diterima. Jika pembayaran zakat fithri memang tidak boleh dengan nilainya/harganya, niscaya burr atau hinthah yang dibayarkan harus dengan takaran yang sama. Pembedaan pengkonversian antara beberapa jenis gandum dalam zakat fithri itu mengandung penjelasan bahwa pengkonversian tersebut didasarkan atas nilainya. Adapun disebutkannya burr atau hinthah, maka itu bukan pembatas dalam standar pengkonversian ini].
حدثنا أبو أسامة عن زهير قال سمعت أبا إسحاق يقول أدركتهم وهم يعطون في صدقة رمضان الدراهم بقيمة الطعام.
Telah menceritakan kepada kami Abu Usaamah[12], dari Zuhair[13], ia berkata : Aku mendengar Abu Ishaaq[14] berkata : “Aku menjumpai mereka menunaikan shadaqah Ramadlaan (zakat fihtri) beberapa dirham senilai makanan” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, 3/174].
Maksud dari perkataan ‘menjumpai mereka’ adalah menjumpai para tabi’in dan sebagian shahabat, sebab Abu Ishaaq termasuk golongan tabi’iy pertengahan yang menjumpai beberapa orang shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Sanad riwayat ini lemah karena faktor penyimakan Zuhair dari Abu Ishaaq As-Sabii’iy adalah setelah ikhtilath-nya.[15] Akan tetapi ia mempunyai syawaahid dari riwayat berikut yang menguatkannya :
حدثنا وكيع عن قرة قال جاءنا كتاب عمر بن عبد العزيز في صدقة الفطر نصف صاع عن كل إنسان أو قيمته نصف درهم
Telah menceritakan kepada kami Wakii’[16], dari Qurrah[17], ia berkata : “Telah datang kepada kami kitab ‘Umar bin ‘Abdil-‘Aziiz[18] tentang zakat fithri sebanyak setengah shaa’ bagi setiap orang atau dengan nilainya/harganya seharga setengah dirham” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 3/174; shahih].
‘Umar bin ‘Abdil-‘Aziiz adalah amiirul-mukminiin yang termasuk generasi tabi’in pertengahan – semasa dengan Abu Ishaaq As-Sabii’iy. Sebagian shahabat pernah di bawah kepemimpinannya semasa ia menjadi gubernur Madinah. Ada kemungkinan bahwa perintahnya atas zakat fithri di sini ia berlakukan semenjak ia menjadi gubernur Madiinah hingga ia menjadi khalifah, wallaahu a’lam.
حدثنا وكيع عن سفيان عن هشام عن الحسن قال لا بأس أن تعطى الدراهم في صدقة الفطر
Telah menceritakan kepada kami Wakii’, dari Sufyaan[19], dari Hisyaam[20], dari Al-Hasan[21], ia berkata : “Tidak mengapa diberikan berupa uang dirham dalam zakat fithri” [idem].
Al-Hasan Al-Bashriy termasuk tabi’iy pertengahan yang semasa dengan Abu Ishaaq As-Sabii’iy dan ‘Umar bin ‘Abdil-‘Aziiz.
وقال طاوس: قال معاذ رضي الله عنه لأهل اليمن: ائتوني بعرض، ثياب خميص أو لبيس، في الصدقة، مكان الشعير والذرة، أهون عليكم، وخير لأصحاب النبي صلى الله عليه وسلم بالمدينة.
Dan telah berkata Thaawuus : Mu’aadz radliyallaahu ‘anhu pernah berkata kepada penduduk Yaman : “Berikanlah kepadaku barang berupa pakaian khamiis atau pakaian lainnya sebagai ganti gandum dan jagung dalam zakat. Hal itu lebih mudah bagi kalian dan lebih baik/bermanfaat bagi para shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam di Madinah” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy secara ta’liq, dan disambungkan oleh Yahyaa bin Aadaam dalam Al-Kharaaj no. 525 dengan sanad shahih sampai Thaawuuus bin Kaisaan].
Tarjih
Pada asalnya, zakat fithri harus dibayarkan sesuai dengan jenis yang disebutkan dalam nash. Namun jika terpaksa, atau karena adanya kebutuhan dan maslahat yang kuat, maka diperbolehkan membayarkan zakat fithri dengan nilainya (uang atau yang lainnya). Inilah pendapat Ishaaq bin Rahawaih, Abu Tsaur, Ahmad dalam salah satu riwayatnya, serta pendapat yang dipilih oleh Ibnu Taimiyyah rahimahumullah. Ibnu Taimiyyah berkata :
والأظهر في هذا‏:‏ أن إخراج القيمة لغير حاجة ولا مصلحة راجحة، ممنوع منه؛ ولهذا قَدَّر النبي صلى الله عليه وسلم الجبران بشاتين، أو عشرين درهمًا، ولم يعدل إلى القيمة؛ ولأنه متى جوز إخراج القيمة مطلقًا، فقد يعدل المالك إلى أنواع رديئة، وقد يقع في التقويم ضرر؛ ولأن الزكاة مبناها على المواساة، وهذا معتبر في قدر المال وجنسه، وأما إخراج القيمة للحاجة أو المصلحة أو العدل، فلا بأس به، مثل أن يبيع ثمر بستانه، أو زرعه بدراهم، فهنا إخراج عشر الدراهم يجزيه، ولا يكلف أن يشتري ثمرًا، أو حنطة، إذ كان قد ساوي الفقراء بنفسه، وقد نص أحمد على جواز ذلك‏.‏
ومثل أن يجب عليه شاة في خمس من الإبل، وليس عنده من يبيعه شاة، فإخراج القيمة هنا كاف، ولا يكلف السفر إلى مدينة أخري ليشتري شاة، ومثل أن يكون المستحقون للزكاة طلبوا منه إعطاء القيمة؛ لكونها أنفع، فيعطيهم إياها، أو يرى الساعي أن أخذها أنفع للفقراء، كما نقل عن معاذ بن جبل أنه كان يقول لأهل اليمن‏:‏ ائتوني بخميص، أو لبيس أسهل عليكم، وخير لمن في المدينة من المهاجرين والأنصار‏.‏
“Yang lebih nampak benar dalam permasalahan ini adalah : Bahwasannya mengeluarkan (zakat) dengan nilai/harga tanpa kebutuhan ataupun maslahat yang kuat adalah terlarang. Oleh karena itu, Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah menetapkan keputusan untuk zakat berupa dua ekor kambing atau duapuluh dirham. Dan beliau tidak langsung menyetarakannya dengan nilainya/uang. Sebab, jika diperbolehkan mengeluarkan zakat dengan nilainya/harganya secara mutlak, maka itu akan dapat menyebabkan pemilik harta menyamakannya dengan sesuatu yang jelek. Bahkan kadangkala hal ini menimbulkan dampak yang buruk, karena zakat dibangun atas asas memberikan sesuatu kepada orang lain. Hal ini hanya dianggap jika diberikan sesuai jumlah dan jenis harta itu sendiri. Adapun mengeluarkan zakat fithri dengan nilainya karena kebutuhan, kemaslahatan, atau keadilan, maka tidak mengapa. Misalnya (ada seseorang yang) menjual buah-buahan di kebun atau lahan pertaniannya dengan dirham. Dalam hal ini, jika orang tersebut mengeluarkan sepersepuluh (zakat pertanian) dari uang dirhamnya tersebut diperbolehkan. Ia tidak dibebani untuk membeli (dengan uang dirhamnya itu) buah-buahan atau gandum (dalam pembayaran zakatnya). Pada kondisi tersebut, orang-orang faqir telah mendapatkan kesamaan dalam zakat tersebut. Ahmad (bin Hanbal) telah mengatakan kebolehannya tentang hal itu.
Misalnya, seseorang yang diwajibkan padanya mengeluarkan zakat seekor kambing untuk (kepemilikan) lima ekor onta dimana pada saat itu tidak ada orang yang menjual kambing; maka membayar zakat dengan nilainya pada waktu itu diperbolehkan/mencukupi. Ia tidak dibebankan untuk bersafar ke kota lain hanya untuk membeli seekor kambing. Misal yang lain, ada beberapa orang mustahiq zakat yang meminta kepadanya agar diberikan uang. Karena dipandang lebih bermanfaat atau petugas zakat memandang memberikan uang lebih bermanfaat bagi orang-orang faqir; maka dalam hal ini diperbolehkan memberikan (zakat) dalam bentuk uang kepada mereka. Hal itu sebagaimana dinukil dari Mu’aadz bin Jabal ketika ia berkata kepada penduduk Yaman : ‘Berikanlah kepadaku baju khamiish atau pakaian lainnya, karena itu lebih mudah bagimu dan lebih baik bagi para shahabat Muhaajiriin dan Anshaar yang tinggal di Madinah” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 25/82-83].
Inilah yang tampak dari pendapat Asy-Syaikh Al-Albaaniy rahimahullah saat berkata :
ثم لو صح هذا الأثر لم يدل على قول أبي حنيفة أنه لا فرق بين القيمة والعين بل يدل لقول من يجوز إخراج القيمة مراعاة لمصلحة الفقراء والتيسير على الأغنياء وهو اختيار ابن تيمية
“Kemudian seandainya shahih atsar ini[22], maka hal itu tidak menunjukkan (kebenaran) perkataan Abu Haniifah yang tidak membedakan antara nilai/harga dan wujud fisik barang zakat. Bahkan perkataan itu menunjukan (kebenaran) orang yang mengatakan diperbolehkannya mengeluarkan harga/nilainya untuk menjaga kemaslahatan orang-orang faqir dan kemudahan bagi orang-orang kaya (dalam menunaikan zakat). Inilah pendapat yang dipilih oleh Ibnu Taimiyyah” [Tamaamul-Minnah, hal. 379].
Asy-Syaikh Abu Maalik dalam Shahih Fiqhis-Sunnah (2/84) dan Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Umar Bazmuul dalam At-Tarjiih fii Masaailish-Shaum waz-Zakaah (hal. 145) juga merajihkan pendapat ini.
Inilah pendapat pertengahan – wallaahu a’lam – dengan melihat nash-nash yang ada.
Kembali pada pertanyaan di atas. Seandainya pun ada seseorang yang memegang perajihan pendapat jumhur tentang terlarangnya/tidak sahnya penunaian zakat fithri dengan uang, maka tidak boleh baginya menghukumi pendapat yang ia pandang marjuh (lemah) sebagai bid’ah. Tidak setiap pendapat yang lemah berkonsekuensi bid’ah. Apalagi dalam hal ini telah ternukil dari salaf yang membolehkannya.
Oleh karena itu, hendaklah para ikhwan – apalagi mereka yang mengaku berinstisab pada madzhab salaf[23] (baca : salafy) – tidak bersikap gegabah dan tergesa-gesa dalam menghukumi sesuatu.
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
Semoga ada manfaatnya.

[1] Mahmuud bin Khaalid bin Abi Khaalid Yaziid As-Sulamiy Abu ‘Aliy Ad-Dimasyqiy; seorang yang tsiqah (w. 240 H dalam usia 73 tahun) [Taqriibut-Tahdziib, hal. 924 no. 6553].
[2] ‘Abdullah bin ‘Abdirrahmaan bin Al-Fadhl bin Bahraam Ad-Daarimiy At-Tamiimiy Abu Muhammad As-Samarqandiy; seorang yang tsiqah, faadlil, dan mutqin (181-155 H). Dipakai Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 522 no. 3456].
[3] Marwaan bin Muhammad bin Hassaan Al-Asadiy Ath-Thaathariy Abu Bakr/Hafsh/’Abdirrahmaan Ad-Dimasyqiy; seorang yang tsiqah (147/148-210 H). Dipakai Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 932 no. 6617].
[4] Abu Yaziid Al-Khaulaaniy Al-Mishriy Ash-Shaghiir; seorang yang shaduuq [idem, hal. 1225 no. 8518].
[5] Sayyaar bin ‘Abdirrahmaan Ash-Shadafiy Al-Mishriy; seorang yang shaduuq [idem, hal. 427 no. 2731].
[6] ‘Ikrimah Al-Qurasyiy Al-Haasyimiy maulaa Ibni ‘Abbaas; seorang yang tsiqah, tsabat, lagi ‘aalim (w. 107 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 687-688 no. 4707].
[7] Musaddad bin Musarhad bin Musarbal bin Mustaurid Al-Asadiy Abul-Hasan Al-Bashriy; seorang yang tsiqah lagi haafidh (w. 228 H). Dipakai Al-Bukhaariy dalam Shahih-nya [idem, hal. 935 no. 6642].
[8] Sulaimaan bin Daawud Al-‘Atakiy; seorang yang tsiqah (w. 234 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 407 no. 2571].
[9] Hammaad bin Zaid bin Dirham Al-Azdiy Al-Jahdlamiy Abu Ismaa’iil Al-Bashriy Al-Azraq; seorang yang tsiqah, tsabat, lagi faqiih (95-179 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 268 no. 1506].
[10] Ayyuub bin Abi Tamiimah As-Sikhtiyaaniy Abu Bakr Al-Bashriy; seorang yang tsiqah, tsabat, lagi hujjah (w. 131 H).Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 158 no. 610].
[11] Naafi’ Abu ‘Abdillah Al-Madaniy maula Ibni ‘Umar; seorang yang tsiqah, tsabat, faqiih, lagi masyhuur (w. 117 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [Taqriibut-Tahdziib, hal. 996 no. 7136].
[12] Hammaad bin Usaamah bin Zaid Al-Qurasyiy Abu Usaamah Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah lagi tsabat, kadang melakukan tadlis (w. 201 dalam usia 80 tahun). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 267 no. 1495]. Ibnu Hajar memasukkannya dalam tingkatan kedua mudallisiin, sehingga ‘an’anah yang dibawakannya tidak memudlaratkannya.
[13] Zuhair bin Mu’aawiyyah bin Hudaij Abu Khaitsamah Al-Ju’fiy Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah lagi tsabat, kecuali riwayatnya dari Abu Ishaaq adalah dla’iif, karena ia mendengar riwayat darinya setelah ikhtilath-nya di akhir usianya/Abu Ishaaq (100-172/173 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 342 no. 2062].
[14] ‘Amru bin ‘Abdillah Al-Hamdaaniy Abu Ishaaq As-Sabii’iy Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah, banyak haditsnya, ahli ibadah, namun berubah hapalannya pada akhir hayatnya (29/32-126/127/128/129 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 739 no. 5100].
[15] Semula saya menyangka ia adalah Zuhair bin Muhammad At-Tamiimiy Al-‘Anbariy Abul-Mundzir Al-Khurasaaniy; seorang yang tsiqah, akan tetapi riwayat penduduk Syaam darinya lemah (w. 162 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 342 no. 2060] – karena bertaqlid kepada muhaqqiq kitab Mushannaf Ibni Abi Syaibah (Muhammad ‘Awwaamah, Daarul-Qiblah, Cet. 1/1427), sehingga saya mengatakan riwayat ini berkualitas shahih. Setelah melakukan pengecekan lebih lanjut, nampak bagi saya bahwa yang dimaksud dengan Zuhair di sini adalah Ibnu Mu’aawiyyah yang riwayatnya dari Abu Ishaaq mendapat kritikan banyak ulama.
Oleh karena itu, di sini saya akan meralat apa yang telah saya tulis dalam halaman facebook saya akan tashhiih riwayat tersebut. Wal-‘ilmu ‘indallaah.
[16] Wakii’ bin Al-Jarraah bin Maliih Ar-Ruaasiy Abu Sufyaan Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah tsabat, lagi ‘aabid (127/128/129-196/197 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 1037 no. 7464].
[17] Qurrah bin Khaalid As-Saduusiy Abu Khaalid/Muhammad Al-Bashriy; seorang yang tsiqah lagi dlaabith (w. 155 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim [idem, hal. 800 no. 5575].
[18] ‘Umar bin ‘Abdil-‘Aziiz bin Marwaan bin Al-Hakam bin Abil-‘Aash Al-Qurasyiy Al-Umawiy Abu Hafsh Al-Madaniy; amiirul-mukminiin, yang sebagian ulama memasukkannya dalam jajaran Al-Khulaafaur-Raasyidiin (w. 101 H dalam usia 40 tahun). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 724 no. 4974].
[19] Sufyaan bin Sa’iid bin Masruuq Ats-Tsauriy; seorang yang tsiqah, haafidh, lagi faqih (97-161 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 394 no. 2458].
[20] Hisyaam bin Hassaan Al-Azdiy Al-Qurduusiy; seorang yang tsiqah (w. 146/147/148 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 1020-1021 no. 7339].
Sebagian ulama ada yang mempermasalahkan riwayatnya dari Al-Hasan Al-Bashriy mursal, karena haditsnya dari Al-Hasan diambil melalui perantaraan Hausyab. Namun pendapat ini tertolak. Ibnu ‘Uyainah berkata : “Hisyaam adalah orang yang paling mengetahui tentang hadits Al-Hasan”. Hisyaam sendiri berkata : “Aku bertetangga dengan Al-Hasan selama 10 tahun” [Tahdziibul-Kamaal, 30/185]. Al-Bukhaariy pun menegaskan bahwa ia telah mendengar riwayat dari Al-Hasan dan ‘Athaa’ [At-Taariikh Al-Kabiir, 8/197 no. 2689]. Sesuai dengan kaidah yang ma’ruf bahwa yang menetapkan lebih didahulukan daripada yang menafikkan. Karena dalam penetapan mengandung tambahan ilmu yang tidak dimiliki oleh pihak yang menafikkan.
[21] Al-Hasan bin Abil-Hasan Yasaar Al-Bashriy atau lebih dikenal dengan nama Al-Hasan Al-Bashriy; seorang yang tsiqah, faqiih, faadlil, lagi masyhuur (w. 110 H dalam usia 88/89 tahun). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 236 no. 1237].
[22] Yaitu atsar Mu’aadz bin Jabal yang disebutkan oleh Al-Bukhaariy secara mu’allaq di atas.
[23] Kami katakan : Bermadzhab salaf itu adalah wajib bagi setiap muslim dan muslimah !!!
(source: http://abul-jauzaa.blogspot.com/2010/09/apakah-membayar-zakat-fitrahfithri.html)

Sumber : http://al-atsariyyah.com/apakah-membayar-zakat-fitrahfithri-dengan-uang-merupakan-satu-kebidahan-dalam-agama.html
 

Blogger news

Blogroll

About