1. Bersiwak.
Dibolehkan seseorang untuk bersiwak baik dengan siwak yang basah maupun yang kering. Berdasarkan keumuman sabda Nabi :
لَوْلاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي لَأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ صَلاَةٍ
“Seandainya aku tidak khawatir akan menyusahkan umatku niscaya aku akan memerintahkan mereka untuk bersiwak setiap kali shalat.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah)
Juga keumuman hadits Aisyah bahwa Nabi bersabda:
السِّوَاكُ مُطَهِّرَةٌ لِلْفَمِ وَمَرْضَاةٌ لِلرَّبِ
“Siwak itu penyuci mulut dan keridhaan dari Ar-Rabb.” (HR. An-Nasai dengan sanad yang hasan)
Ini adalah pendapat Imam Malik dalam salah satu
riwayat, Abu Hanifah, Ahmad dalam salah satu riwayat, Ats-Tsauri dan
Al-Auzai. Pendapat ini juga diriwayatkan dari Ali, Ibnu Umar, Urwah dan
Mujahid.
Sementara Imam Ahmad dalam riwayat yang lain,
Asy-Syafi’i dan Ishaq berpendapat dimakruhkannya bersiwak setelah
tergelincirnya matahari. Mereka berdalil dengan hadits Ali secara
marfu’, “Bersiwaklah kalian di pagi hari dan janganlah kalian bersiwak di waktu sore.” (HR. Ad-Darquthni)
Akan tetapi ini adalah hadits yang lemah, di dalam
sanadnya ada Kaisan Abu Umar Al-Qashshar, seorang rawi yang lemah dan
juga ada rawi lain yang bernama Yazid bin Bilal, tidak diketahui siapa
dia. Hadits ini dilemahkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Al-Irwa` no. 67
Ada pendapat ketiga yang menyatakan dimakruhkannya
bersiwak dengan siwak kering karena dikhawatirkan ada bagian siwak yang
bisa tertelan. Ini adalah pendapat Asy-Sya’bi, Qatadah, al-Hakam, Ishaq,
Malik dalam riwayat yang lain dan Ahmad dalam riwayat yang lain.
Pendapat yang kuat adalah pendapat yang pertama,
ini adalah pendapat yang dikuatkan oleh Imam Al-Bukhari dan Ibnu Hazm,
serta pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiah.
Adapun penggunaan pasta gigi, maka yang
difatwakan oleh para masyaikh di antaranya: Ibnu Baz, Ibnu Al-Utsaimin
dan Al-Fauzan adalah bahwa dia tidak mengapa menggunakannya selama tidak
masuk ke dalam saluran pencernaannya. Walaupun Syaikh Ibnu Al-Utsaimin
lebih menganjurkan untuk tidak menggunakannya. Lihat Fatawa Ramadhan
beliau (2/494-497)
2. Istinsyaq (Menghirup Air Ke Dalam Hidung)
Hal ini dibolehkan walaupun di luar wudhu. Adapun
di dalam wudhu maka hukumnya wajib -menurut pendapat yang paling kuat-
sebagaimana bisa dilihat dalam pembahasan wudhu. Hal ini berdasarkan
hadits Laqith bin Saburah riwayat Abu Daud dan At-Tirmizi:
بَالِغْ فِي الْإِسْتِنْشَاقِ إِلاَّ أَنْ تَكُوْنَ صَائِمًا
“Bersungguh-sungguhlah dalam istinsyaq kecuali kalau kamu dalam keadaan berpuasa.”
Kalaupun airnya secara tidak sengaja tertelan, maka
pendapat yang kuat dalam masalah ini adalah puasanya tidak batal. Ini
adalah pendapat Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur, Al-Hasan, dan yang dikuatkan
oleh Al-Bukhari, Ibnu Hazm, dan Syaikh Ibnu Al-Utsaimin.
[Ithaful Anam hal. 57, 65-66]
3. Menelan ludah.
Imam An-Nawawi menukil ijma’ bahwa hal itu tidak
membatalkan puasa. Hal itu karena menelan ludah adalah hal yang tidak
bisa dihindari dan sangat sering terjadi pada banyak orang. Seandainya
dia adalah pembatal puasa niscaya akan diterangkan dalam syariat.
Sampai walaupun seseorang itu sengaja mengumpulkan
ludahnya lantas menelannya, maka tetap hal itu tidak membatalkan
puasanya. Walaupun pada kasus yang kedua ini ada perbedaan pendapat,
hanya saja inilah yang dikuatkan oleh Ibnu Qudamah, Syaikh Ibnu Baz dan
Syaikh Ibnu Utsaimin -rahimahumullah-.
Lihat Al-Majmu’ (6/317-318) dan Al-Mughni (3/16-17)
4. Mencicipi atau mengunyah makanan tanpa menelannya.
Misalnya dia ingin membeli makanan tapi dia butuh
untuk mengetahui rasanya, demikian halnya seseorang yang memasak dalam
keadaan berpuasa atau seseorang yang menghaluskan makanan -dengan
mulutnya- untuk bayinya.
Imam Ahmad dan Asy-Syafi’i berpendapat semua hal di
atas tidak mengapa karena tidak adanya dalil yang menunjukkan bahwa itu
adalah pembatal puasa. Hanya saja kalau tidak ada keperluan maka
dimakruhkan melakukan hal tersebut.
[Ithaful Anam hal. 62-63]
5. Menelan lalat/nyamuk secara
tidak sengaja atau mulutnya kemasukan debu dan semacamnya tidaklah
membatalkan puasa. Al-Hafizh berkata dalam Al-Fath (4/184), “Ibnul
Mundzir menukil kesepakatan ulama bahwa siapa yang mulutnya kemasukan
lalat dalam keadaan dia berpuasa maka tidak ada kewajiban apa-apa
atasnya.”
6. Ihtilam (mimpi basah)
Tidak membatalkan puasa berdasarkan ijma’. Ijma’
dinukil oleh Ibnu Abdil Barr dalam At-Tamhid (7/192), An-Nawawi dalam
Al-Majmu’ (6/322), dan Ibnu Taimiah dalam Kitab Ash-Shiyam (1/307, 485)
7. Orang yang masuk di waktu subuh
dalam keadaan sudah suci dari hadats akbar tapi dia belum mandi. Imam
An-Nawawi menukil adanya ijma’ bahwa hal itu tidak bermasalah, hendaknya
dia mandi lalu berpuasa dan puasanya syah.
Semisal dengan kasus ini adalah: Wanita yang baru
suci dari haid atau nifas sebelum subuh tapi dia mandi setelah azan
subuh, anak kecil yang balig dengan ihtilam sebelum subuh dan mandi
junub setelah azan subuh, dan orang kafir yang masuk Islam sebelum dan
mandinya setelah azan subuh. Semuanya boleh dan syah berpuasa dengan
syarat dia telah berniat untuk puasa sebelum dikumandangkannya azan
subuh, sebagaimana telah berlalu pada pembahasan niat.
Wallahu a’lam bishshawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar