More
1 of 173
|
Misalkan Asy-Syaikh Muqbil berselisih dengan Asy-Syaikh Al-Utsaimin dalam menilai suatu hukum permasalahan kontemporer, atau Asy-Syaikh Ahmad An-Najmi berselisih dengan Asy-Syaikh Bakr Abu Zaid dalam menilai person tertentu, atau Asy-Syaikh Rabi’ memiliki penilaian yang berbeda dengan Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan rahimahumullah.
Apakah pendapat salah seorang dari para ulama tersebut
wajib diterima dan diambil? Jika wajib diterima, pendapat ulama siapakah
yang wajib diterima? Apakah Asy-Syaikh Al-Utsaimin, Asy-Syaikh Muqbil,
Asy-Syaikh Rabii atau Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan?
Memang saat terjadi fitnah, solusi terbaik adalah kembali
kepada ulama kibar karena keberkahan ilmu bersama mereka. Namun
permasalahannya, para ulama kibar juga berselisih dalam memberikan
arahan dan nasehat, apa yang harus kita lakukan?
Al-Imam Adz-Dzahabi rahimahullah berkata:
«لسنا ندَّعِي في أئمَّةِ الجرح والتعديل العصمةَ من الغلط
النادِرِ، ولا من الكلام بنَفَسٍ حادٍّ فيمن بينه وبينهم شحناء وإحنة، وقد
عُلِمَ أنّ كثيرًا من كلامِ الأقران بعضِهم في بعض مُهْدَرٌ لا عبرةَ به،
لا سيما إذا وَثَّقَ الرجلَ جماعةٌ يلوح على قولهم الإنصاف»
“Kami tidak mengklaim kemaksuman pada imam jarh wa ta’dil
dari kesalahan yang jarang terjadi, mereka tidak pula terbebas dari
perkataan keras diantara mereka yang menjurus pada permusuhan dan
pertikaian. Diketahui bahwa kebanyakan perkataan ulama yang selevel,
penilaian salah seorang mereka kepada yang lain tidak diambil dan tidak
dianggap, terlebih jika sekelompok ulama yang memiliki sikap inshaf
(adil) dalam perkataanya menilai tsiqah orang tersebut.” [Siyaru A’lam
An-Nubalaa’, 7/40-41)
Adz-Dzahabi rahimahullah juga berkata:
«وكلام الأقران بعضِهم في بعضٍ لا يعبأ به لا سيما إذا لاح لك
أنه لعداوة أو لمذهب أو لحسد وما ينجو منه إلاّ من عصمه الله، وما علمت
أنّ عصرًا من الأعصار سَلِمَ أهلُهُ من ذلك سِوَى الأنبياءِ والصدِّيقين
ولو شئتُ لسَرَدْتُ من ذلك كراريس»
“Perkataan teman yang selevel, salah satu dari mereka
kepada sahabatnya yang lain tidaklah teranggap, terlebih lagi jika telah
jelas bagi Anda bahwa perkataan tersebut disebabkan oleh permusuhan,
(fanatik) madzhab ataupun hasad. Tidak ada seorang pun yang selamat dari
sifat ini kecuali orang-orang yang Allah anugerahkan kemaksuman padanya
(yaitu Nabi -pen). Saya belum mengetahui dari zaman ke zaman, ada orang
yang terbebas dari sifat ini, kecuali para nabi dan shiddiqiin. Jika
saya mau, saya akan menyebutkan permasalahan ini dalam tulisan-tulisan.”
[Miizaanul I’tidal, 1/111]
Al-Imam Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah berkata:
«إنّ من صحّت عدالتُهُ، وثبتت في العلم أمانتُهُ، وبانت
ثقتُهُ وعنايته بالعلم لم يُلتفتْ إلى قول أحدٍ إلاّ أن يأتي في جرحه
بِبَيِّنَةٍ عادلةٍ يصحُّ بها جرحه على طريق الشهادات والعمل فيها من
المشاهدات والمعاينة»
“Sesungguhnya orang yang telah sah keadilannya, telah
diketahui amanahnya dalam ilmu dan ke-tsiqah-annya, serta perhatiannya
terhadap ilmu, maka tidak perlu menoleh perkataan orang yang
men-jarh-nya, kecuali jika ia membawakan bukti yang adil dalam jarh-nya
dan dapat dipertanggung-jawabkan melalui jalur persaksian, serta
dikuatkan pula dengan bukti-bukti yang nyata.” [Jami’ Bayaan Al-‘Ilmi wa
Fadhlihi, 2/152]
Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata:
فقد يعتقد أحد المجتهدين ضعف رجل , ويعتقد الآخر ثقته وقوته
وقد يكون الصواب مع المضعف لاطلاعه على سبب خفي على الموثق وقد يكون الصواب
مع الأخر لعلمه بأن ذلك السبب غير قادح في روايته وعدالته , إما لأن
جنسه غير قادح وإما لأن له فيه عذرا أو تأويلا يمنع الجرح
"Terkadang sebagian mujtahid mendha’ifkan seseorang,
sedangkan sebagian yang lain menilai tsiqah dan menguatkannya. Terkadang
kebenaran bersama ulama yang mendha’ifkan, karena ia telah mengetahui
sebab jarh yang tersembunyi bagi ulama yang menilai tsiqah, dan
terkadang kebenaran bersama ulama yang menilai tsiqah, karena
pengetahuan ulama tersebut bahwa sebab jarh ini tidaklah menjadikan
celaan dalam riwayat dan keadilannya. Ada kemungkinan karena jenis
kesalahannya memang tidak cukup untuk menjadikan celan baginya atau ia
memiliki udzur dan ta’wil yang menghalanginya dari jarh” [Ash-Shawa’iq
Al-Mursalah, 2/556]
Taajuddin As-Subki Asy-Syafi’i rahimahullah berkata:
«الحذر كلّ الحذر أن تفهم قاعدتهم: «الجرح مقدم على التعديل»
على إطلاقها، بل الصواب أنّ من ثبتت إمامته وعدالته وكثر مادحوه وندر
جارحوه، وكانت هناك قرينة دالة على سبب جرحه من تعصُّب مذهبيٍّ أو غيرِه لم
يلتفت إلى جرحه»
“Berhati-hatilah dalam memahami kaidah jarh lebih
didahulukan daripada ta’dil’ secara mutlak. Yang lebih tepat adalah
orang yang telah diketahui keimaman dan kredibilitasnya, banyak yang
memujinya dan sedikit yang men-jarh-nya, serta ada pula indikasi yang
menunjukkan bahwa alasan jarh-nya disebabkan karena fanatik madzhab atau
selainnya, maka tidak perlu menoleh pada jarh-nya.” [Thabaqat
Asy-Syâfi’îyah, 1/188]
As-Subki rahimahullah juga berkata:
«عرفناك أنّ الجارح لا يقبل منه الجرح، وإن فسّره في حقّ من
غلبت طاعته على معاصيه، ومادحوه على ذامّيه، ومُزَكُّوه على جارحيه، إذا
كانت هناك منافسة دنيوية، كما يكون بين النظراء أو غير ذلك، وحينئذٍ فلا
يلتفت لكلام الثوريِّ وغيرِه في أبي حنيفة، وابن أبي ذئب وغيرِه في مالكٍ،
وابنِ معينٍ في الشافعي، والنسائيِّ في أحمدَ بنِ صالحٍ ونحوِه، ولو أطلقنا
تقديم الجرحِ لَمَا سَلِمَ لنا أحدٌ من الأئمّة، إذ ما من إمامٍ إلاّ وقد
طَعَنَ فيه الطاعنون، وهَلَكَ فيه الهالكون»
“Telah kami jelaskan kepada Anda, bahwa seorang ulama yang
men-jarh terkadang tidak diterima jarh-nya kepada orang yang lebih
dominan ketaatannya dari kemaksiatannya, orang yang memujinya lebih
banyak dari yang mencelanya atau orang yang merekomendasikan lebih
banyak daripada yang men-jarh-nya, meskipun ia memberikan rincian,
apabila di sana terdapat unsur persaingan duniawi.
Sebagaimana yang terjadi diantara kubu yang saling
berseteru atau selainnya. Pada saat itu, tidak perlu menoleh kepada
perkataan Ats-Tsauri dan selainnya kepada Abu Hanifah, perkataan Ibnu
Abi Dzi’b dan selainnya kepada Malik, Ibnu Ma’in kepada Asy-Syafi’i,
An-Nasa’i kepada Ahmad bin Shalih dan semisalnya. Sekiranya kita secara
mutlak mendahulukan jarh (dari ta’dil dalam semua keadaan), tentu tidak
ada seorang imam pun yang selamat. Karena tidak ada seorang imam pun
melainkan ada para pencela yang mencelanya dan terdapat orang-orang
binasa yang berusaha menjatuhkannya.” [Thabaqat Asy-Syâfi’îyah, 1/190]
Asy-Syaikh Al-‘Allamah Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullah berkata:
نحن متفقون على جرح أهل البدع والحزبيين , متفقون على هذا ,
بقي في أناس عند شخص من المجروحين وعند اخر ليسوا من المجروحين , هذا حدث
على عهد السلف فرب راو يقول فيه أحمد بن حنبل ثقة , ويقول فيه يحيى بن معين
كذاب , أو العكس وهكذا البخاري وأبو زرعة وأبو حاتم والمهم لا يقلد بعضهم
بعضا , فإن اختلفنا في توثيق شخص أو تجريحه فليس هذا أننا مختلفون في
العقيدة هذا أننا مختلفون في الإتجاه
“Kita bersepakat untuk memberikan jarh terhadap
ahlul-bid’ah dan hizbiyyin, kita telah bersepakat di atas hal ini.
Tinggal tersisa sekelompok orang yang teranggap majruh menurut sebagian
ulama, namun teranggap tsiqah menurut ulama yang lain, ini telah terjadi
sejak masa salaf. Terkadang terdapat seorang rawi yang dinyatakan oleh
Ahmad bin Hanbal “tsiqah”, namun Yahya bin Ma’in menilainya “kadzaab”,
atau sebaliknya.
Demikian pula yang terjadi pada Al-Bukhari, Abu Zur’ah, Abu
Hatim, yang terpenting adalah sebagian mereka (para ulama –pen)
tidaklah taklid kepada ulama yang lain. Jika kita berselisih tentang
penilaian tsiqah atau jarh terhadap seseorang, bukanlah berarti kita
berselisih dalam permasalahan aqidah, tidak pula berarti kita berselisih
dalam arah dan tujuan.” [Kaset Ad-Durar fii Al-Ajwibah]
Asy-Syaikh Muhammad Ali Firkuuz hafizhahullah berkata:
فأقوالُ العلماء في الجرح والتعديلِ أو في كلامِ بعضِهم في
بعضٍ أمرٌ اجتهاديٌّ يَقبلُ الإصابةَ والخطأَ، والمجتهدُ مأجورٌ على
اجتهادِهِ وإن أخطأَ فله أجرٌ واحدٌ، فهو بكُلِّ حالٍ مأجورٌ، والإثمُ عنه
مرفوعٌ، لقوله صَلَّى اللهُ عليه وآله وسَلَّم: «إذَا حَكَمَ الحَاكِمُ
فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ، فَلَهُ أَجْرَانِ، وَإذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ،
ثُمَّ أَخْطَأَ، فَلَهُ أَجْرٌ»(١- أخرجه البخاري في «الاعتصام بالكتاب
والسنة» باب أجر الحاكم إذا اجتهد فأصاب أو أخطأ (6916)، ومسلم في
«الأقضية» باب بيان أجر الحاكم إذا اجتهد فأصاب أو أخطأ: (4487)، وأبو داود
في «الأقضية» باب في القاضي يخطئ (3574)، وابن ماجه في «الأحكام» يجتهد
فيصيب الحق (2314)، وأحمد: (17360)، من حديث عمرو بن العاص رضي الله عنه)،
ويترتَّب على ذلك ما ورد في السؤال من سعة الصدر وعدمِ التشنيعِ على
المخالف وحملِهِ على أحسنِ المحامل؛ لأنّ الأصلَ في العلماء أنهم أهلُ
عَدْلٍ وإنصافٍِ، وإنما قد يقع منهم من الطَّعن غيرِ المعتبر لِهَوًى،
ومسالكُ الهوى ومساربه دقيقَةٌ، والمعصومُ من عصمه اللهُ.
“Pendapat para ulama dalam permasalahan jarh dan ta’dîl,
atau penilaian sebagian mereka (ulama –pen) kepada ulama yang lain
adalah perkara ijtihadiyyah yang bisa benar dan bisa keliru. Seorang
mujtahid akan mendapatkan pahala atas ijtihadnya. Meskipun ia keliru, ia
tetap mendapatkan satu pahala. Ulama yang berijtihad dalam hal ini akan
bernilai pahala dan kesalahannya dimaafkan, sebagaimana sabda Nabi
shallallâhu ‘alaihi wasallam:
«إذَا حَكَمَ الحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ، فَلَهُ أَجْرَانِ، وَإذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ، ثُمَّ أَخْطَأَ، فَلَهُ أَجْرٌ»
“Jika seorang hakim memutuskan suatu hukum, kemudian ia
berijtihad dan benar, maka ia mendapatkan dua pahala. Jika ia memutuskan
hukum, berijtihad kemudian keliru, ia mendapatkan satu pahala.”
[Dikeluarkan oleh Al-Bukhari dalam Al-I’tisham bil Kitabi
was Sunnah bab “Ganjaran seorang hakim apabila ia berijtihad kemudian ia
benar atau keliru” no. 6916, Muslim dalam Al-Aqdhiyah bab “Penjelasan
tentang ganjaran seorang hakim apabila ia berijtihad kemudian ia benar
atau keliru” no. 4487, Abu Dawud dalam Al-‘Aqdhiyah bab “Seorang Qadhi
yang Keliru” no. 3574, Ibnu Majah dalam Al-Ahkam bab “Berijtihad
kemudian menyepakati kebenaran” no. 2314 dan Ahmad no. 17360 dari hadits
‘Amru bin Al-‘Ash radhiyallâhu ‘anhu]
Konsekuensi dari permasalahan ini sebagaimana terdapat
dalam pertanyaan adalah keharusan berlapang dada, ia tidak diperbolehkan
merendahkan orang yang berselisih pendapat dengannya. Ia semestinya
memahami perkataan ulama kepada kemungkinan yang terbaik, karena menurut
kaidah asal, para ulama adalah orang yang adil dan obyektif, hanya saja
terkadang terjadi pada mereka sikap saling mencela yang tidak
semestinya yang disebabkan oleh hawa nafsu. Jalan dan celah hawa nafsu
itu sangat tersembunyi, sedangkan kemaksuman hanyalah dimiliki oleh
orang yang Allah anugerahkan kemaksuman padanya (yaitu nabi –pen)”
Sumber: website resmi beliau di http://www.ferkous.com/rep/
Asy-Syaikh Prof. Muhammad bin Umar Bazmuul hafizhahullah pernah ditanya,
السلام عليكم شيخنا أحسن الله إليكم هل الجرح والتعديل من المسائل الاجتهادية أو الخلافية وجزاكم الله خيرا وبارك الله فيكم
“Assalamu’alaikum syaikhana ahsanallahu ilaikum..apakah
jarh dan ta’dil termasuk permasalahan ijtihadiyyah atau khilafiyyah?
Semoga Allah memberikan balasan kebaikan dan barakah pada Anda..
Asy-Syaikh Muhammad Bazmuul hafizhahullah menjawab:
وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته
الأصل في الجرح والتعديل أنه خبر ، ينقله لك العالم أو يخبر به العالم عن حال المجروح أو المعدل. ويدخل إليه الاجتهاد من جهتين: الجهة الأولى : تنزيله المرتبة المناسبة لحاله. الجهة الثانية : فهم مراد العالم من عبارته. والله اعلم
“Wa’alaikumussalam warahmatullah wabarakatuh, asas dalam
ilmu jarh dan ta’dil adalah khabar (berita), yaitu seorang ulama yang
menukilkan atau menyampaikan berita padamu tentang keadaan orang yang
dijarh (dicela) atau dita’dil (diberikan rekomendasi). Permasalahan ini
termasuk ijtihadiyyah ditinjau dari dua sisi,
Pertama, ijtihadiyyah dalam memberikan vonis yang tepat terhadap keadaan orang (yang dijarh atau dita’dil –pen)
Kedua, ijtihadiyyah dalam memahami perkataan seorang ulama (saat memberikan jarh atau ta’dil–pen). Allahua’lam”
Sumber: website resmi Asy-Syaikh Muhammad Bazmuul di sini
Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam hafizhahullah berkata:
إن كان الإختلاف حاصلا في كثير من الأحكام الفقهية فمن باب
أولى أن يكون حاصلا في مسائل يتكلم فيها أهل الجرح و التعديل حسب علمهم
واجتهادهم , وهذا أمر لا ينكر لكثرة حصوله ولتقرير من قبل أهل العلم
“Jika perselisihan pendapat terjadi dalam kebanyakan
permasalahan fiqih (yang sumbernya berasal dari dalil wahyu -pen), maka
perselisihan ini lebih layak terjadi pada permasalahan yang objeknya
adalah perkataan ulama jarh wa ta’dil (perkataan manusia -pen), sesuai
dengan ilmu dan ijtihad mereka. Ini adalah permasalahan yang tidak bisa
diingkari, karena banyaknya fenomena yang terjadi, serta pengakuan
langsung dari para ulama” [Al-Ibanah hal. 188]
Saya akan menyebutkan beberapa contoh perselisihan jarh dan ta’dil yang terjadi di kalangan ulama salaf,
Jarh Yahya bin Ma’in Terhadap Para Ulama Tsiqaat
Yahya bin Ma’in berkata saat menilai Asy-Syafi’i: “ia
bukanlah seorang yang tsiqah”. Setelah diadukan kepada Ahmad bin Hanbal
perkataan tersebut, Al-Imam Ahmad berkata: “Darimana Yahya mengetahui
Asy-Syafi’i? Ia tidak mengetahui Asy-Syafi’i, tidak pula mengetahui
perkataan Asy-Syafi’i, barangsiapa yang jahil terhadap sesuatu, maka ia
akan memusuhinya” [Jami’ Al-Bayan no. 1533]
Demikian pula perkataan Yahya bin Ma’in saat menilai Thawus: “ia adalah seorang Syi’ah”.
Yahya berkata saat menilai Al-Auza’i: “Ia tidak memiliki kemuliaan, ia hanyalah seorang tentara”.
Yahya berkata saat menilai Az-Zuhri: “ia adalah penjaga
simpanan harta sebagian penguasa Bani Umayyah, saat Az-Zuhri kehilangan
sebagian hartanya, ia menuduh seorang pemuda, lalu memukulinya hingga
pemuda itu mati” [Jami’ Al-Bayan no. 1533]
Yahya bin Ma’in adalah seorang ulama jarh wa ta’dil dengan
kesepakatan ulama. Namun ketika beliau keliru dalam men-jarh para ulama
tsiqaat, hal itu tidak mengurangi kemuliaan beliau, tidak menjadikan
beliau dicela dan ditahdzir oleh ulama yang lain, karena kesalahan
beliau yang sedikit hanyut oleh kebenaran beliau yang tak terhitung
jumlahnya, serta jasa-jasa beliau yang besar dalam berkhidmat terhadap
hadits-hadits nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Jika kesalahan memvonis
person terjadi pada Imam Jarh wa Ta’dil Yahya bin Ma’in, bukankah tidak
mustahil hal ini juga terjadi pada para ulama yang berada di bawahnya?
Namun ketika seorang ulama keliru dalam berijtihad menilai
person tertentu, para tukang fitnah memanfaatkan kesempatan ini untuk
mencela, mentahdzir dan menjatuhkan para ulama sejatuh-jatuhnya, bahkan
menggelari para ulama dengan nama-nama yang buruk. Inikah adab seorang
penuntut ilmu kepada ulamanya... Allahulmusta’an
Jarh dan Ta’dil Para Ulama terhadap ‘Ikrimah maula Ibnu Abbas
Sa’iid bin Al-Musayyib berkata kepada budaknya: “Wahai
Burad, janganlah kau berdusta atasku sebagaimana Ikrimah berdusta atas
Ibnu Abbas”
Hammad bin Zaid berkata, dari Ayyub: “Seandainya aku tidak
memiliki seorang pun perawi yang tsiqah, aku tetap tidak akan menulis
dari Ikrimah”.
Ibnu Ulayyah berkata, Ayub menyebutkan tentang Ikrimah: “ia sedikit akalnya”.
Abu Khalaf Al-Kharraz berkata, dari Yahya Al-Bakka’i, aku
mendengar Ibnu Umar berkata pada Nafi’: “Wahai Nafi’, janganlah engkau
berdusta atas namaku sebagaimana Ikrimah berdusta atas nama Ibnu Abbas”
Ibrahim bin Al-Mundzir berkata, dari Ma’n bin Isa: “Malik
tidak mengangap Ikrimah sebagai tsiqah, ia memerintahkan untuk
meninggalkannya”.
Ar-Rabii’ berkata, dari Asy-Syafi’i: “Ia (Malik) memiliki
penilaian yang buruk terhadap Ikrimah. Malik berkata: “Aku tidak
memperbolehkan seorang pun mengambil hadits dari Ikrimah”.
Wuhaib bin Khalid berkata, dari Yahya bin Sa’id Al-Anshari:
“Ia (Ikrimah –pen) adalah pendusta” [Tahdziib At-Tahdziib cetakan
Muassasah Ar-Risalah, 3/135-136]
Jika kita diharuskan menerima dan mengambil jarh sebagian
ulama secara mutlak, maka kita harus men-jarh Imam Asy-Syafi’i, Imam
Al-Auza’i, Az-Zuhri, Thawus dan Ikrimah –semoga Allah merahmati mereka
seluruhnya-, bukankah demikian?
Namun para ulama dari zaman ke zaman tidaklah demikian
dalam mengambil sikap, saya hanya akan menyebutkan pembelaan sebagian
ulama terkait tuduhan dusta yang menimpa Ikrimah, seorang tabi’in yang
mulia lagi imam para ahli tafsir,
Al-Marudzii berkata: aku berkata pada Ahmad, “apakah hadits
Ikrimah dapat dijadikan hujjah?”. Imam Ahmad berkata: “iya, bisa
dijadikan hujjah”.
Utsman Ad-Darimi berkata: aku bertanya pada Ibnu Ma’in,
“manakah yang lebih kau sukai, Ikrimah atau Sa’id bin Jubair?”. Yahya
menjawab: “tsiqah, tsiqah” tanpa memilih salah satunya”.
Ya’qub bin Abi Syaibah berkata, dari Ali bin Al-Madini
berkata: “Tidak ada dari budak-budak Ibnu Abbas yang lebih berilmu dari
Ikrimah, ia adalah seorang ulama”.
Al-Ijli berkata: “makkiy, tabi’in, tsiqah”
Al-Bukhari berkata: “Tidak ada seorang pun dari sahabat kami kecuali berhujjah dengan hadits Ikrimah”
An-Nasa’i berkata: “tsiqah”
Ibnu Abi Hatim berkata: “aku bertanya pada ayahku,
bagaimana keadaan Ikrimah?”. Ayahku berkata: “tsiqah”. Aku berkata:
“haditsnya bisa dijadikan hujjah?”. Ayahku berkata: “iya, jika
orang-orang tsiqaat meriwayatkan darinya”.
Yahya bin Ayyub Al-Mishri berkata: Ibnu Juraij bertanya
padaku, “apakah kau menulis hadits Ikrimah?” Aku menjawab: “tidak”. Maka
ia berkata: “kau kehilangan sepertiga ilmu”.
Jarir berkata, dari Mughirah, ditanyakan pada Sa’id bin
Jubair, “Adakah orang yang lebih berilmu darimu?”. Sa’id menjawab: “ada,
Ikrimah”
Isma’il bin Abi Khalid berkata, aku mendegar Asy-Sya’bi
berkata: “Tidak tersisa seorang pun yang lebih alim tentang kitabullah
dari Ikrimah”
Sa’id bin Abi ‘Aruubah berkata, dari Qatadah berkata: “Ada
empat orang yang paling berilmu dari kalangan tabi’in; Atha’, Sa’id bin
Jubair, Ikrimah dan Al-Hasan” [Tadziiib At-Tahdziib, 3/135-137]
Allahua’lam, semoga bermanfaat..
Ditulis oleh Abul-Harits di Madinah, 20 Rabii’ul Akhiir 1435
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar