Al-Ustadz Abdul Mu’thi, Lc.
Sesungguhnya di antara doa seorang mukmin yang diabadikan Allah Subhanahu wata’ala dalam al-Qur’an adalah,
وَالَّذِينَ
يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا
قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا
“Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada
kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyejuk mata (kami),
dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.” (al-Furqan: 74)
Menurut penafsiran salaf, maksud
penyejuk mata di sini bukanlah bagusnya fisik, melainkan tumbuhnya
mereka dalam ketaatan kepada Allah Subhanahu wata’ala yang menyebabkan
mata sejuk memandangnya di dunia dan di akhirat. Al-Hasan al- Bashri rahimahullah
berkata tentang ayat ini, “Maknanya, Allah Subhanahu wata’ala
memperlihatkan kepada hamba-Nya yang muslim ketaatan istri, saudara, dan
temannya kepada Allah Subhanahu wata’ala. Sungguh, demi Allah, tiada
sesuatu yang menyejukkan mata seorang muslim yang melebihi melihat anak,
cucu, saudara, atau temannya taat kepada Allah Subhanahu wata’ala.” (Tafsir Ibnu Katsir 3/342)
Kehidupan rumah tangga termasuk salah
satu sisi kehidupan terpenting yang dilalui oleh pria dan wanita karena
telah mengambil bagian yang terbesar dalam kehidupan mereka. Karena itu,
apabila rumah tangga ini dibangun di atas ketaatan kepada
Allah Subhanahu wata’ala dan cinta yang sejati, kecocokan yang sempurna
dan saling adanya pengertian, niscaya kehidupan mereka akan bahagia.
Ketenteraman dan cinta kasih akan
senantiasa menaungi kehidupan mereka. Ini artinya bahwa suami istri
sedang membangun sebuah generasi yang tahu tentang arti kehidupan.
Anak-anak mereka akan tumbuh di tengah-tengah lingkungan yang kondusif
dan dipenuhi cinta kasih.
Rumah Tangga Bahagia
Pernikahan bukan sekadar bersenangsenang
menyalurkan kebutuhan biologis. Lebih dari itu, pernikahan adalah
sebuah bentuk ibadah kepada Allah Subhanahu wata’ala. Dengan pernikahan,
jenis manusia terus berlanjut keberadaannya untuk memakmurkan bumi ini
sampai batas waktu yang Dia tentukan.
Dengan pernikahan pula, seseorang akan
mendapatkan ketenteraman batin dan terhindar dari penyimpangan seksual,
dengan seizin Allah Subhanahu wata’ala. Allah Subhanahu wata’ala
berfirman,
وَمِنْ
آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوا
إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ
لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
“Di antara tanda-tanda kekuasaan-
Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri,
supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya
di antara kalian rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian
itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (ar-Rum: 21)
Pernikahan sebagai tali ikatan cinta
yang suci antara pria dan wanita menuntut masing-masing pihak untuk
menunaikan kewajibannya terhadap yang lain. Setiap pihak menjalankan
tugasnya dan mampu memainkan perannya demi terwujudnya keharmonisan
rumah tangga yang didambakan.
Suami, sebagai kepala keluarga
berkewajiban memberikan bimbingan agama kepada istrinya serta mencukupi
nafkah lahir dan batin. Adapun istri, sebagai orang yang ditugasi
mengurusi rumah, diharuskan menjaga harta suami, menaatinya dalam
perkara kebaikan, serta mengurusi anak dan mendidiknya. Apabila suami
istri tulus menjalankan tugasnya, pahala dari Allah Subhanahu wata’ala
telah menunggunya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, bersabda,
إِنَّكَ لَنْ تُنْفِقَ نَفَقَةً تَبْتَغِي بِهَا وَجْهَ اللهِ إِلَّا أُجِرْتَ عَلَيْهَا، حَتَّى مَا تَجْعَلُ فِي فِي امْرَأَتِكَ
“Sesungguhnya, tidaklah engkau memberikan suatu nafkah yang dengannya engkau mengharap wajah Allah Subhanahu
wata’ala kecuali engkau diberi pahala atasnya, sampaipun makanan dan
minuman yang engkau suapkan untuk mulut istrimu.” (Muttafaqun ‘alaihi dari hadits Sa’d bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, juga bersabda,
إِذَاصَلَّتِ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَاوَصَامَتْ شَهْرَهَا
وَحَصَّنَتْ فَرْجَهَا وَأَطَاعَتْ زَوْجَهَا، قِيْلَ لَهَا:
ادْخُلِي الْجَنَّةَ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شِئْتِ
وَحَصَّنَتْ فَرْجَهَا وَأَطَاعَتْ زَوْجَهَا، قِيْلَ لَهَا:
ادْخُلِي الْجَنَّةَ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شِئْتِ
“Apabila seorang wanita shalat lima
waktu, puasa di bulan (Ramadhan), menjaga kemaluannya, dan menaati
suaminya, dikatakan kepadanya, ‘Masuklah engkau ke dalam surga dari
pintu mana saja yang engkau inginkan’.” (HR. Ibnu Hibban dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dan asy-Syaikh al-Albani menyatakannya sahih dalam Shahih al-Jami’)
Di antara suami istri hendaknya ada
saling pengertian dan tidak bersikap egois. Ketika melihat ada
kekurangan dari pihak lain, janganlah hal ini dijadikan sebagai sebab
untuk menanam kebencian kepadanya yang nantinya akan mengganggu
keharmonisan. Ia hendaknya melihat banyak sisi kebaikannya dan kelebihan
yang disandangnya. Namun, tentu tak ada masalah apabila dia berusaha
memperbaiki kekurangannya dengan cara yang bijak. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, bersabda,
لَا يَفْرَكُ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِيَ مِنْهَا آخِرَ
“Janganlah seorang mukmin membenci
seorang mukminah. Apabila ia tidak menyukai suatu perangai pada dirinya,
ia akan suka darinya perangai yang lain.” (HR. Muslim)
Asy-Syaikh as-Sa’di berkata, “Bimbingan
dari Nabi n bagi suami dalam hal bergaul dengan istrinya ini adalah
faktor terbesar untuk (mewujudkan) hubungan rumah tangga yang harmonis.
Di sini, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, melarang seorang mukmin (suami) dari pergaulan yang jelek terhadap istrinya.
Tentunya, larangan terhadap sesuatu
(mengandung) perintah untuk melakukan yang sebaliknya. Beliau memerintah
suami untuk memerhatikan apa yang dimiliki oleh istrinya, berupa
perangai yang indah dan hal yang sesuai dengan dirinya, lalu ia jadikan
hal ini sebagai pembanding terhadap perangai istrinya yang tidak dia
sukai….
Seorang yang adil akan menutup mata dari
kekurangan (istrinya) karena telah lebur dalam kebaikannya yang banyak.
Dengan demikian, hubungan akan tetap langgeng. Akan tertunaikan pula
hakhaknya yang wajib dan yang sunnah. Boleh jadi, (dengan sikap seperti
ini) seorang istri akan berusaha memperbaiki apa yang tidak disukai oleh
suaminya. Adapun orang yang menutup mata dari kebaikan istrinya dan
(hanya) melihat kejelekannya walaupun kecil, hal ini tentu bukan sikap
yang adil. Orang seperti ini kecil kemungkinannya akan bisa hidup
harmonis bersama istrinya.” (Bahjah Qulubil Abrar hlm. 101)
Demikian pula sikap seorang istri ketika
melihat kekurangan yang ada pada suaminya. Adapun menuntut penampilan
yang selalu prima dan pelayanan yang selalu sempurna tentu sulit, bahkan
hampir-hampir mustahil.
Badai Rumah Tangga
Kadang ketenteraman rumah tangga terusik
dengan adanya problem yang berasal dari pribadi suami atau istri. Hal
ini membutuhkan perhatian serius dan penanganan yang tepat agar bahtera
rumah tangga tetap terkendali. Apabila kita telusuri, banyak sekali
faktor yang memicu munculnya problem.
Dari pihak suami, misalnya, terkadang ia
tidak perhatian terhadap istrinya dari sisi pemberian nafkah, pembagian
giliran bermalam yang tidak adil bagi yang beristri lebih dari satu,
hubungan ranjang yang tidak memuaskan (egois), kasar dan kakunya
perangai terhadap istri, anak, atau mertuanya, serta kurang memedulikan
kebutuhan istri dan anakanaknya berupa perasaan aman dan nyaman.
Adapun dari pihak istri, terkadang
seorang suami merasa tidak mendapatkan pelayanan yang memuaskan dari
istrinya. Terkadang seorang istri sibuk dengan aktivitas di luar rumah
sehingga kebutuhan suaminya kurang terpenuhi. Demikian pula pendidikan
terhadap anak kurang maksimal. Bisa juga karena perangai istri yang
buruk dan tidak tahu persis apa yang harus dia lakukan terhadap
suaminya.
Intinya, apa pun faktor pemicu
ketidakharmonisan tersebut sangat membutuhkan solusi yang cepat dan
tepat. Mereka yang sedang dilanda masalah keluarga harusnya menyadari
butuhnya mempelajari kembali kewajibankewajiban yang harus ditunaikan
terhadap yang lainnya. Mereka membutuhkan bimbingan agama dan nasihat
orang yang berilmu. Seorang suami hendaknya ingat firman Allah Subhanahu
wata’ala,
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
“Dan bergaullah dengan mereka secara patut.” (an-Nisa: 19)
Demikian pula sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam,,
كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يُضَيِّعَ مَنْ يَقُوْتُ
“Cukup seseorang dikatakan berdosa manakala ia menyia-nyiakan orang yang menjadi tanggungannya.” (HR. Abu Dawud dan lainnya dari hadits Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma. An-Nawawi rahimahullah menyatakannya sahih dalam Riyadhush Shalihin)
Seorang suami yang baik akan menyadari
kekurangannya dan berusaha memperbaikinya. Dia akan membuang sikap egois
dan siap menjadi suami yang perhatian terhadap istrinya, sekaligus
bapak yang sayang terhadap anakanaknya dan tahu kebutuhan mereka.
Seorang istri yang salehah akan selalu ingat besarnya hak suami atasnya
sebagaimana sabda Nabi n yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,
لَوْ كُنْتُ آمِرَا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لِأَحَدٍ لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ يَسْجُدَ لِزَوْجِهَا
“Seandainya aku boleh memerintah seorang untuk sujud kepada seseorang, niscaya aku perintahkan wanita untuk sujud kepada suaminya.” (Sahih, HR. at-Tirmidzi dan selainnya)
Dia juga tidak melakukan suatu aktivitas
yang sifatnya tidak mendesak yang menyebabkan suaminya terhalangi
mengungkapkan gejolak cinta yang terpendam dalam hatinya atau setidaknya
mengurangi kenikmatannya. Istri salehah teringat sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam,,
لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ أَنْ تَصُوْمَ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلَّا بِإِذْنِهِ وَلَا تَأْذَنُ فِي بَيْتِهِ إِلَّا بِإِذْنِهِ
“Tidak halal bagi seorang wanita
untuk berpuasa padahal suaminya hadir (ada di sisinya) kecuali dengan
seizinnya dan tidak boleh ia memberi izin (seorang memasuki) rumahnya
kecuali dengan seizin suami.” ( HR. al-Bukhari dari jalan sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Istri yang salehah juga siap mengoreksi diri demi tergapainya kebahagiaan rumah tangga. Sudah saatnya bagi suami istri untuk mempelajari agama ini secara umum dan hal-hal yang berkaitan dengan kewajiban-kewajiban dalam berumah tangga secara khusus, lalu mempraktikkannya dalam kehidupan rumah tangga mereka. Suami istri juga perlu selalu membangun komunikasi yang baik. Dengan demikian, ketegangan dalam rumah tangga akan hilang, setidaknya bisa diminimalisir mudaratnya.
Mewaspadai Bahaya dari Luar
Keharmonisan hidup berumah tangga adalah
nikmat yang besar. Dan, setiap merasakan nikmat duniawi pasti akan
selalu ada orang yang tidak menyenanginya. Inilah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam,. Kehidupan rumah tangga beliau yang harmonis sempat diguncang oleh dahsyatnya isu yang ditiupkan oleh orang-orang munafik.
Alkisah, Rasulullah n dan para sahabat
dalam perjalanan pulang ke Madinah. Beliau waktu itu juga membawa
istrinya. Di tengah perjalanan, istri beliau, Aisyah, ingin buang hajat.
Rombongan pun berhenti menunggu Aisyah. Setelah selesai hajatnya,
Aisyah kembali ke tengah rombongan dan naik di atas sekedupnya.
Tetapi, ia ingat bahwa kalungnya
tertinggal. Dia pun turun kembali dan mencarinya. Setelah kembali lagi,
ia dapatkan rombongan telah pergi jauh tak terkejar. Aisyah memutuskan
untuk tetap di situ. Secara kebetulan, lewatlah sahabat Shafwan bin
Mu’aththal radhiyallahu ‘anhuma yang tertinggal di belakang rombongan karena suatu keperluan. Ia pun melihat seorang wanita yang tertinggal dari rombongan.
Setelah mendekat ia pun tahu bahwa ia adalah Aisyah radhiyallahu ‘anha.
Shafwan mendudukkan kendaraannya lalu Aisyah menaikinya. Shafwan lantas
menuntun kendaraannya hingga masuk kota Madinah tanpa ada pembicaraan
antara keduanya. Orang-orang munafik memanfaatkan kejadian ini untuk
menebarkan isu miring bahwa Aisyah berbuat yang tidak baik dengan
Shafwan. Keharmonisan rumah tangga Nabi n pun terguncang dalam beberapa
hari dan para sahabat pun ikut bersedih karenanya. Lalu Allah Subhanahu
wata’ala menurunkan ayat yang menegaskan kesucian Aisyah radhiyallahu ‘anha dari apa yang dituduhkan kepadanya. (Lihat Tahdzib Sirah Ibni Hisyam hlm. 109—195)
Dari kisah tersebut kita bisa mengambil
faedah, di antaranya bahwa keharmonisan rumah tangga bisa terancam
karena adanya faktor dari luar. Berikut di antara faktor tersebut:
1. Setan
Kedengkian setan terhadap manusia yang
sudah tertanam semenjak Allah Subhanahu wata’ala memuliakan Adam di
hadapan para malaikat terus muncul dari waktu ke waktu. Di antara bukti
nyatanya sebagaimana tersebut dalam hadits (yang artinya),
“Setan telah berputus asa untuk
disembah oleh orang yang shalat di Jazirah Arab, tetapi ia (berusaha)
untuk mengadu domba di antara mereka.” (HR. Muslim)
Juga disebutkan dalam hadits riwayat Jabir radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, bersabda (yang artinya),
“Sesungguhnya iblis meletakkan
singgasananya di atas air lalu ia mengutus pasukannya. Yang paling dekat
kedudukannya dari iblis adalah yang paling besar upaya menggodanya.
Salah satu pasukannya datang (kepada iblis) lalu berkata, ‘Aku telah
melakukan ini dan itu.’ Iblis berkata, ‘Kamu belum berbuat apa-apa.’
Datang (lagi) salah satu dari mereka lalu berkata, ‘Aku tidak tinggalkan
ia (manusia) hingga aku memisahkan antara ia dan istrinya.’ Iblis
mendekatkannya dan berkata, ‘Kamu bagus’.” ( HR. Ahmad 3/314 dan Muslim)
Tujuan Iblis terbesar adalah memutuskan
keturunan manusia sehingga lenyap keberadaannya dan menjatuhkan manusia
ke dalam perzinaan yang merupakan dosa besar yang paling jahat. (Faidhul Qadir 2/517)
Oleh karena itu, hendaknya seseorang senantiasa meminta perlindungan kepada Allah Subhanahu wata’ala dari godaan setan.
2. Orang yang iri dan tidak suka melihat keharmonisan rumah tangga orang lain
Rasa iri orang semacam ini terkadang
semata-mata ingin agar suami istri itu ribut dan bercerai. Ada pula
orang yang sifat irinya diikuti keinginan untuk terjadinya perceraian
lalu ia akan menikah dengan salah satunya. Orang yang iri terkadang tega
melakukan cara-cara yang bengis dan keji, seperti pembunuhan atau
menyampaikan berita dusta kepada salah satu dari suami istri, sehingga
timbul percekcokan yang berujung perceraian padahal berita itu belum
ditelusuri kebenarannya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, bersabda,
مَنْ خَبَّبَ عَلَى امْرِئٍ زَوْجَتَهُ أَوْ مَمْلُوْكَهُ فَلَيْسَ مِنَّا
“Barang siapa merusak istri seseorang atau budaknya, ia bukan termasuk golongan kami.” (HR. Ahmad, asy-Syaikh al-Albani menyatakan sahih dalam ash-Shahihah no. 325)
Semoga Allah Subhanahu wata’ala melindungi kita dari kejahatan orang yang hasad/iri dengki.
3. Bermudah-mudah dengan ipar
Tidak sedikit suami bermudah-mudah
dengan saudara perempuan istrinya, demikian pula seorang istri dengan
saudara laki-laki suaminya. Terkadang mereka masuk kepada yang lain
berduaan saja padahal bukan mahramnya. Dalam benak sebagian orang, hal
itu dianggap perkara lumrah dan tidak akan terjadi apa-apa, toh itu
hanya ipar. Kenyataannya, tidak sedikit keharmonisan keluarga menjadi
hancur berantakan karena sikap bermudah-mudah yang seperti ini.
Bahkan, dalam kondisi tertentu sampai
terjadi pertumpahan darah karenanya dan terputusnya tali silaturahmi.
Ini semua akibat melanggar tuntunan agama. Sahabat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, bersabda,
لَا يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلَّا وَمَعَهَا ذُوْ مَحْرَمٍ
“Janganlah seorang lelaki besepisepian dengan seorang wanita kecuali bersama wanita itu ada mahramnya.” (Muttafaqun ’alaihi)
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, juga bersabda (yang artinya),
“Hati-hatilah kalian dari masuk kepada para wanita!” Ada seorang lelaki dari Anshar bertanya, “Apa pendapat Anda tentang al-hamwu (ipar dan kerabat suami)?” Nabi bersabda, “Al-hamwu itu maut.” (Muttafaqun ’alaihi)
Maksudnya, masuknya ipar atau kerabat suami kepada wanita itu seperti maut, yaitu membinasakan.
Al – Munawi rahimahullah berkata
,“Diserupakan dengan maut dari sisi sama kejelekannya dan merusaknya
sehingga hal ini sangat diharamkan…. Masuknya ipar kepada wanita akan
mengantarkan kepada kematian agama atau kematian (berakhirnya) wanita
itu karena diceraikan saat suaminya cemburu atau dirajamnya ia apabila
berzina dengan ipar.” (Faidhul Qadir 3/160)
4. Mertua
Terkadang seorang mertua mendengar
problem anaknya dengan suami/istrinya. Tidak jarang, seorang mertua
memberikan pembelaan terhadap anaknya tanpa melihat yang benar. Karena
campur tangan mertua yang tidak mencarikan solusi yang terbaik,
permasalahan semakin melebar dan perselisihan semakin tajam. Padahal
yang seharusnya dilakukan oleh mertua adalah mencari jalan agar suasana
menjadi sejuk.
Sahabat Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu pada suatu hari marah kepada istrinya, Fathimah, putri Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam,.
Ali keluar menuju masjid dan berbaring dengan bersandar ke tembok
masjid. Nabi n datang menemui Ali yang saat itu punggungnya penuh dengan
debu. Rasulullah n mengusap debu dari punggung Ali dan memintanya untuk
duduk. (lihat Shahih al-Bukhari no. 6204)
Seperti inilah seorang mertua yang bijak, berusaha untuk memadamkan api kemarahan dan mendinginkan suasana.
5. Pergaulan yang tidak selektif
Tidak semua orang pantas untuk dijadikan
teman bergaul karena ada jenis manusia yang memiliki perangai jahat.
Sementara itu, agama seseorang sangat dipengaruhi oleh teman
sepergaulannya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, bersabda,
الرَّجُلُ عَلَى دِيْنِ خَلِيْلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ
“Seseorang mengikuti agama (perangai)
teman sepergaulannya, maka hendaknya seorang dari kalian melihat orang
yang ia jadikan teman.” ( HR. Abu Dawud dan at-Tirmidzi. Asy- Syaikh al-Albani menyatakan hasan dalam Shahih al-Jami’)
Parahnya, seorang lelaki terkadang
menjalin pertemanan dengan perempuan yang bukan mahram, demikian pula
sebaliknya. Terkadang juga mereka bercerita/curhat tentang problem rumah
tangga masing-masing. Akibatnya, seorang wanita berani bersikap kasar
terhadap suaminya dan seorang suami sudah tidak peduli lagi dengan
istrinya. Bahkan, ada yang sampai terjadi perzinaan dengan teman
curhatnya. Wal ‘iyadzu billah.
Sungguh, ketika keimanan telah menipis
dan nyaris hilang serta sifat malu menjadi suatu yang langka, sudah
semestinya seseorang berhati-hati demi keselamatan agamanya dan
keharmonisan rumah tangganya. Jangan menjadi orang yang latah dan hanya
ikut-ikutan.
Waspadalah dari bahaya yang mengancam,
seperti bergabung dengan situs jejaring sosial yang kadang dimanfaatkan
untuk kejahatan. Akhirnya, semoga Allah Subhanahu wata’ala memberi
taufik kepada seluruh muslimin baik rakyat maupun penguasanya untuk
kembali kepada jalan-Nya yang lurus demi tercapainya kebahagiaan dunia
dan akhirat. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar dan Mengabulkan Doa.
Wallahu a’lam.
http://asysyariah.com/akhlak-bahaya-yang-mengancam-keharmonisan-rumah-tangga/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar