Pernah diajukan pertanyaan kepada Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullahu ta’ala:
Apa pendapat Anda tentang kaedah-kaedah berikut ini:
(1) Siapa yang tidak mengafirkan orang kafir, maka ia kafir
(2) Siapa yang tidak membidahkan mubtadi’, maka ia mubtadi’
(3) Siapa yang tidak bersama kami, maka ia musuh kami
Beliau pun menjawab:
Dari mana datang kaedah-kaedah seperti itu? Dan siapa yang membuatnya?
BUKAN SYARAT—SELAMA-LAMANYA(!)—BAHWA SIAPA SAJA MENGAFIRKAN SESEORANG DAN MENYAMPAIKAN KEPADANYA HUJJAH
MAKA SEMUA ORANG HARUS BERSAMANYA DALAM MENGAFIRKAN. Sebab, barangkali,
ia menakwilkan saja. Lalu, ulama yang lain melihatnya tidak boleh
dikafirkan. Demikian pula dengan perkara memvonis fasik dan bid’ah. Inilah yang menjadi fitnah-fitnah di zaman ini dan termasuk ketergesa-gesaan sebagian pemuda yang mengaku berilmu.
Permasalahan ini
lapang. Terkadang seorang ulama melihat suatu perkara itu hukumnya
wajib, sedangkan yang lain tidak melihatnya seperti itu, sebagaimana
para ulama telah berselisih pendapat dari dulu sampai sekarang.
SEBAB PERKARA IJTIHAD TIDAK DAPAT DIPAKSAKAN KEPADA ORANG-ORANG LAIN UNTUK MENGAMBIL PENDAPAT IJTIHAD-NYA.
Siapa yang memaksa orang lain mengambil pendapatnya, maka orang ini
hanyalah seorang yang taklid dan tidak berilmu. Ia mewajibkan dirinya
untuk diikuti dengan taklid.
Adapun jika ia seorang ulama, yang ia mengafirkan atau ia memvonis fasik dan ahlul bid’ah
dan ada yang lain yang tidak berpendapat seperti itu, maka ia tidak
dituntut untuk mengikuti pendapat ulama tersebut. Yang jelas, ini adalah
musibah yang musibah tersebut insyaallah tidak menyebar dari negeri kalian ke negeri lain.
RUJUKAN: Kaset “Silsilah Al Huda wa An Nur” no. 778, “Pertanyaan Keempat” atau http://www.sahab.net/forums/index.php?showtopic=148123 diakses pada tanggal 4 April 2015.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar