BTemplates.com

Pages

Selasa, 07 Juli 2015

Seputar Kaffarah


Yang menjadi dalil pokok pada pembahasan ini adalah hadits Abu Hurairah dia berkata:

جَاءَ رَجُلٌ إِلَى اَلنَّبِيِّ  فَقَالَ: هَلَكْتُ يَا رَسُولَ اَللَّهِ. قَالَ: ” وَمَا أَهْلَكَكَ ? ” قَالَ: وَقَعْتُ عَلَى اِمْرَأَتِي فِي رَمَضَانَ، فَقَالَ: ” هَلْ تَجِدُ مَا تَعْتِقُ رَقَبَةً? ” قَالَ: لَا. قَالَ: ” فَهَلْ تَسْتَطِيعُ أَنْ تَصُومَ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ? ” قَالَ: لَا. قَالَ: ” فَهَلْ تَجِدُ مَا تُطْعِمُ سِتِّينَ مِسْكِينًا? ” قَالَ: لَا, ثُمَّ جَلَسَ, فَأُتِي اَلنَّبِيُّ  بِعَرَقٍ فِيهِ تَمْرٌ. فَقَالَ: ” تَصَدَّقْ بِهَذَا “, فَقَالَ: أَعَلَى أَفْقَرَ مِنَّا? فَمَا بَيْنَ لَابَتَيْهَا أَهْلُ بَيْتٍ أَحْوَجُ إِلَيْهِ مِنَّا, فَضَحِكَ اَلنَّبِيُّ  حَتَّى بَدَتْ أَنْيَابُهُ، ثُمَّ قَالَ: “اذْهَبْ فَأَطْعِمْهُ أَهْلَكَ “
Ada seorang lelaki yang mendatangi Nabi   lalu berkata, “Saya telah binasa wahai Rasulullah,” beliau bertanya, “Apa yang membuat kamu binasa?” dia menjawab, “Saya melakukan jima’ dengan istriku dalam bulan ramadhan.” Maka beliau bersabda, “Apakah kamu bisa membebaskan seorang budak?” dia menjawab, “Tidak.” Beliau bertanya lagi, “Apakah kamu sanggup berpuasa dua bulan berturut-turut?” dia menjawab, “Tidak.” Beliau kembali bertanya, “Apakah kamu bisa memberi makan 60 orang miskin?” dia menjawab, “Tidak.” Kemudian orang itu duduk lalu Nabi   datang dengan membawa sekeranjang besar korma lalu bersabda, “Bersedekahlah dengan ini.” Dia menjawab, “Apakah kepada orang yang lebih miskin daripada kami? Tidak ada satu keluarga pun di antara dua dinding kampung itu yang lebih membutuhkan makanan ini daripada kami.” Maka Nabi   tertawa hingga nampak gigi taring beliau. Kemudian beliau bersabda, “Pergilah lalu beri makan keluargamu dengan ini.” (HR. Al-Bukhari no. 1936 dan Muslim no. 1111)
Berdasarkan hadits ini, mayoritas ulama berpendapat wajibnya kaffarah bagi orang yang melakukan jima’ dengan syarat-syarat yang akan kami sebutkan.
Sementara Ibnu  Sirin, An-Nakha’i, Asy-Sya’bi dan Said bin Jubair berpendapat bahwa dia tidak wajib membayar kaffarah. Karena puasa adalah ibadah yang kaffarah tidak wajib ketika seseorang merusak puasa qadha`nya, sehingga dengan itu kaffarah juga tidak wajib ketika seorang merusak puasanya secara ada`an.
Yang kuat tentunya pendapat mayoritas ulama, sementara kias pendapat kedua adalah kias yang rusak karena bertentangan dengan nash.
[Al-Mughni: 3/25 dan Al-Muhalla masalah no. 737]
Syarat-Syarat Wajibnya Kaffarah.
Dari hadits Abu Hurairah di atas, kita bisa melihat ada empat syarat wajibnya kaffarah atas seseorang:
1.    Melakukan jima’.
2.    Sedang berpuasa.
3.    Di siang hari ramadhan.
4.    Pelakunya adalah orang yang wajib atasnya berpuasa.
Dengan keempat syarat ini kita bisa menjawab banyak masalah berkenaan dengan kaffarah, sebagai contoh:
1.    Orang yang melakukan jima’ lalu dia belum membayar kaffarah sampai melakukan jima’ untuk kedua kalinya pada hari yang sama. Berapa kali dia membayar kaffarah?
Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni (3/32) dan Ibnu Abdil Barr dalam At-Tamhid (7/259) menukil ijma’ bahwa dia hanya membayar sekali. Hal itu karena dia melakukan jima’ yang kedua sudah tidak dalam keadaan puasa diakibatkan jima’ yang pertama sehingga syarat yang kedua tidak terpenuhi.
2.    Demikian pula kalau dia melakukan jima’ yang kedua dalam satu hari setelah dia membayar kaffarah sebelumnya. Yang rajih adalah mazhab mayoritas ulama yang menyatakan hanya satu kali. Ini yang dirajihkan oleh Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla masalah no. 771
3.    Orang yang melakukan jima’ pada puasa qadha` ramadhan. Ibnu Abdil Barra berkata dalam At-Tamhid (7/258), “Mereka bersepakat bahwa orang yang melakukan jima’ pada qadha` ramadhan dengan sengaja maka tidak ada kaffarah atasnya, kecuali Qatadah.” Ini yang dikuatkan oleh Ibnu Hazm dan Faqihuz Zaman Syaikh Ibnu Al-Utsaimin. Hal itu karena syarat ketiga tidak terpenuhi, yakni jima’nya bukan pada bulan ramadhan tapi di luar ramadhan.
4.    Jika dia berbuka dengan makan dan minum lalu melakukan jima’, apakah wajib atasnya kaffarah?
Ada khilaf, yang rajih adalah pendapat Asy-Syafi’i yang menyatakan tidak wajibnya, berbeda halnya dengan mayoritas ulama yang mewajibkan. Masalah ini kembalinya kapada masalah: Apakah sebab kaffarah adalah merusak puasa ataukah melanggar kehormatan ramadhan dengan jima’? Yang benar adalah karena sebab yang kedua, sebagaimana yang akan kami terangkan pada beberapa masalah setelah ini.
Jadi dalam kasus ini dia tidak membayar kaffarah karena syarat yang kedua tidak terpenuhi dengan jalan dia makan terlebih dahulu.
5.    Jika seseorang membawa istinya untuk melakukan safar di siang hari ramadhan, setelah tiba di tujuan mereka melakukan jima’. Maka mereka juga tidak wajib membayar kaffarah karena keduanya musafir sementara musafir tidak wajib berpuasa.
Hukum Tartib Dalam Pembayaran Kaffarah
Ada dua pendapat dalam masalah ini:
1.    Wajib tartib. Ini adalah pendapat yang masyhur dari Imam Ahmad, juga merupakan pendapat Ats-Tsauri, Al-Auzai, Asy-Syafi’i, dan mayoritas ulama.
Mereka berdalil dengan hadits Abu Hurairah di atas.
2.    Tidak wajib tartib, akan tetapi boleh memilih. Ini adalah salah satu riwayat dari Ahmad dan Malik.
Mereka berdalil dengan ucapan Abu Hurairah -dalam hadits yang sama-, “Maka Rasulullah   memerintahkannya untuk membebaskan budak atau berpuasa dua bulan berturut-turut atau memberi makan 60 orang miskin.”
Yang kuat adalah pendapat mayoritas ulama. Adapun dalil pendapat kedua, maka lafazh itu diriwayatkan oleh Malik, Ibnu Juraij, Fulaih bin Sulaiman dan Amr bin Utsman dari Az-Zuhri. Sementara Al-Hafizh berkata dalam Al-Fath no. 1936, “Bahkan yang meriwayatkan lafazh tartib ini dari Az-Zuhri ada 30 orang rawi atau lebih.”
Kalaupun dianggap haditsnya shahih, maka kata ‘aw’ (atau) di sini diarahkan kepada makna tartib guna mengompromikan kedua hadits. Ini adalah pendapat yang dikuatkan oleh An-Nawawi, Ash-Shan’ani dan selain keduanya.
[Al-Mughni: 3/29, Al-Majmu’: 6/333-334, dan Al-Istidzkar: 10/95-96]
Apakah Wanita Juga Membayar Kaffarah?
Dalam hal ini ada dua keadaan:
1.    Jika dia tidak dipaksa.
Ada dua pendapat di kalangan ulama dalam masalah ini:
a.    Dia juga wajib membayarnya.
Ini adalah pendapat Malik, Abu Hanifah, Abu Tsaur, Ibnul Mundzir, satu riwayat dari Ahmad dan dari Asy-Syafi’i, serta Al-Hafizh menisbatkannya kepada mayoritas ulama.
Mereka berdalil dengan salah satu lafazh pada sebagian jalan hadits Abu Hurairah, “Saya binasa dan membuat orang binasa.”
Akan tetapi Al-Baihaqi mengatakan bahwa Al-Hakim mempunyai tiga juz dalam menjelaskan batilnya lafazh ini, dan juz ini telah diringkas oleh Al-Hafizh dalam Al-Fath no. 1936
Mereka juga mengatakan: Wanita adalah saudara sekandung lelaki dalam hal hukum, sehingga penjelasan hukum kepada lelaki adalah juga penjelasan untuknya karena keduanya sama-sama melanggar.
b.    Tidak wajib atasnya membayar kaffarah.
Ini adalah pendapat Al-Hasan, Al-Auzai, riwayat yang lain dari Ahmad dan dari Asy-Syafi’i, dan ini yang shahih dalam mazhab Asy-Syafi’iyah, juga pendapat Daud, Azh-Zhahiriah dan Ibnu Hazm.
Mereka berdalil bahwa khithab (yang diajak bicara) dan dhamir (kata ganti) pada hadits tersebut semuanya adalah mudzakkar (untuk lelaki).
Mereka juga berdalil akan diamnya Nabi   dari menyebutkan wajibnya kaffarah atas wanita.
Tapi ini dibantah bahwa ini adalah qadhiyah hal. Yaitu bahwa diamnya Nabi   terhadap hukum wanita itu tidak menunjukkan hukum tersebut tidak berlaku baginya, karena ada kemungkinan istrinya tidak berpuasa karena adanya uzur. Kemungkinan lain dari diamnya beliau adalah karena beliau sudah mengetahui dari ucapan suaminya bahwa istrinya tidak punya kemampuan menolak.
Yang kuat adalah pendapat yang pertama, dan inilah yang dikuatkan oleh Syaikh Ibnu Al-Utsaimin -rahimahullah-.
2.    Jika dia dipaksa.
Maka dalam hal ini juga ada beberapa pendapat:
1.    Tidak ada kewajiban kaffarah atasnya, yang ada hanya qadha`. Ini adalah pendapat Ahmad, Al-Auzai, Ats-Tsauri, Al-Hasan, dan Ashhab Ar-Ra`yu. Diikutkan dengannya wanita yang digauli dalam keadaan dia tidur.
2.    Jika paksaannya dibarengi dengan ancaman, maka pendapat pertama sudah benar. Kalau dia digauli dalam keadaan tidur maka tidak batal puasanya.. Ini adalah pendapat Asy-Syafi’i, Abu Tsaur dan Ibnul Mundzir.
3.    Tidak ada kaffarah dan tidak pula qadha` -walaupun paksaannya dibarengi ancaman-, dan puasanya syah. Ini adalah salah satu sisi dalam mazhab Asy-Syafi’iyah, dibebarkan penisbatannya oleh An-Nawawi, Asy-Syirazi dalam A-Tanbih dan Ar-Rafi’i dalam Asy-Syarh.
Pendapat ketiga inilah yang dikuatkan oleh Syaikh Ibnu Al-Utsaimin -rahimahullah-.
[Al-Mughni: 3/27, Al-Majmu’: 6/325-336, Asy-Syarhul Mumti: 6/414-416, Al-Istidzkar: 10/108-109, dan Al-Muhalla: 4/327]
Apakah kaffarah juga diwajibkan atas orang yang membatalkan puasanya dengan makan dan minum?
Ini adalah pendapat Ahmad dalam satu riwayat, Malik dan pengikutnya, Ats-Tsauri, Abu Hanifah dan pengikutnya, Al-Auzai dan Ishaq. Mereka mengatakan yang menyamakan keduanya adalah sama-sama melanggar kehormatan ramadhan.
Sementara jumhur ulama berpendapat tidak. Ini adalah pendapat Said bin Jubair, Ibnu Sirin, Jabir bin Zaid, Asy-Sya’bi, dan Qatadah.
Inilah yang dirajihkan oleh Ibnu Taimiah dan dalam kitab Ash-Shiyam (1/272) beliau menyebutkan tiga alasan beliau menguatkan pendapat ini. Ini juga yang dikuatkan oleh Ibnu Hazm dan Al-Wadi’i -rahimahullah-.
Bagi Yang Tidak Sanggup, Apakah Kaffarah Tetap Wajib Atasnya?
Pendapat pertama: Itu gugur darinya.
Ini adalah mazhab Ahmad, Asy-Syafi’i dalam satu pendapat, Al-Auzai, dan Isa bin Dinar dari kalangan Al-Malikiah.
Mereka mengatakan karena Nabi  tidak memerintahkan orang dalam hadits Abu Hurairah itu untuk membayar kaffarah kalau dia sudah lapang. Ini yang dikuatkan oleh Ibnu Qudamah.
Pendapat kedua: Kaffarah tidak gugur.
Ini adalah salah satu riwayat dari Ahmad, pendapat yang lain dari Asy-Syafi’i, dan mayoritas ulama. Mereka mengatakan karena hukum asal dalam kaffarah adalah tidak gugur dengan ketidakmampuan, bahkan tetap wajib dalam tanggungannya.
Mereka mengatakan: Tatkala orang tersebut tidak mampu mengerjakan salah satu dari ketiga kaffarah, Nabi terdiam lalu pergi mengambilkannya makanan. Beliau tidak mengatakan misalnya, “Kalau begitu tidak ada kewajiban atasmu.” Jawaban senada diutarakan oleh Ibnu Taimiah dalam Syarh Kitab Ash-Shiyam (1/296) dan Ibnu Abdil Barr dalam Al-Istidzkar (10/105-107)
Apakah Dipersyaratkan Pada Budak Harus Seorang Muslim?
Yang kuat dalam masalah ini adalah pendapat mayoritas ulama yang mempersyaratkannya. Mereka membatasi budak dalam hadits dengan firman Allah Ta’ala pada kaffarah membunuh, “Maka membebaskan budak yang beriman.” (QS. An-Nisa`: 92) Mereka juga berdalil dengan hadits ‘jariyah (budak wanita)’ dalam riwayat Muslim tentang pertanyaan Nabi   kepada budak tersebut, “Dimana Allah?”. Tatkala dia menjawabnya dengan benar maka Nabi   bersabda, “Merdekakan dia karena sesungguhnya dia adalah mukminah.”
Sementara Al-Hanafiah, Ibnu Hazm, Atha`, An-Nakha’i, dan Ats-Tsauri tidak mempersyaratkannya.
Yang kuat adalah pendapat pertama karena pada kedua kasus ini sebab hukumnya sama yaitu kaffarah dari dosa, wallahu a’lam.
[Al-Muhalla no. 740, Takmilah Al-Majmu’: 17/368, As-Subul: 4/148, Al-Mughni: 8/17-18]
Jika Kaffarah Puasa Diputuskan Karena Uzur
Ada beberapa uzur yang disebutkan oleh para ulama:
1.    Uzur haid. Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni (8/21-22) menukil ijma’ bahwa dia tidak perlu mengulangi dari awal.
2.    Uzur nifas. Yang benarnya dia juga tidak memutuskan urutan. Ini adalah salah satu sisi dalam mashab Al-Hanabilah dan Asy-Syafi’iyah.
3.    Uzur sakit. Yang kuat bahwa itu tidak membatalkan urutan karena sakit bukan atas kemauannya seperti haid. Ini adalah pendapat Ibnu Abbas, Ibnul Musayyab, Al-Hasan, Atha`, Asy-Sya’bi, Thawus, Mujahid, Malik, Ishaq, Abu Ubaid, Abu Tsaur, Ibnul Mundzir, dan ucapan lama Asy-Syafi’i.
4.    Uzur safar. Jika safarnya tidak dalam keadaan darurat maka itu membatalkan urutan dan demikian pula sebaliknya. Ini adalah pendapat Malik, Ashhab Ar-Ra`yu, dan yang masyhur dalam mazhab Asy-Syafi’iyah.
5.    Uzur hamil dan menyusui. Jika dia berbukan karena mengkhawatirkan dirinya maka dihukumi sama dengan orang yang sakit. Jika dia mengkhawatirkan anaknya, maka ada dua sisi pendapat dalam mazhab Al-Hanabilah dan Asy-Syafi’iyah.
6.    Uzur gila dan pingsan. Ibnu Qudamah berkata dalam Al-Mughni (8/22), “Jika orang gila atau pingsan berbuka maka urutan puasanya tidak terputus, karena dia adalah uzur yang tidak bisa dia hindari, maka dia seperti wanita haid.”
Apakah Jumlah Orang Miskin Yang Diberi Makan Harus 60?
Pendapat mayoritas ulama menyatakan wajibnya hal itu, berbeda halnya dengan Abu Hanifah. Ini yang dikuatkan oleh Ibnu Hazm berdasarkan hadits.
Berapa Kadar Makanan Yang Diberikan?
Ada persilangan pendapat di kalangan ulama dalam hal ini. Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla no. 746 berkata, “Tidak boleh membatasi kadar makanan tertentu dan menyatakan itu syah sementara yang lainnya tidak, tanpa ada nash dan tidak pula ijma’. Mereka tidak berbeda pendapat kalau makanan yang disantapnya tidak mengenyangkan atau makanan yang diberikan (misalnya beras, pent.) kurang dari satu mud maka itu tidak syah.” Ini pendapat yang dikuatkan oleh Ibnu Taimiah.
Wallahu a’lam bishshawab

Sumber : http://al-atsariyyah.com/seputar-kaffarah.html

Tidak ada komentar:

 

Blogger news

Blogroll

About